Perpustakaan umumnya dimaknai dan dimanfaatkan oleh sebagian besar orang sebagai tempat untuk membaca dan meminjam buku. Tak jarang, segelintir orang juga menjadikan perpustakaan sebagai area self-healing ketika mereka sedang berada pada situasi suntuk atau bosan. Bahkan di era yang serba digital saat ini—di mana setiap orang bisa dengan mudah melakukan publikasi atas apa yang sedang ia lakukan, kapan pun, dan di mana pun.
Maka, tak jarang perpustakaan hanya disinggahi serta diklaim oleh sebagian kecil orang sebagai objek yang instagram-able sehingga barangkali seseorang tersebut dapat menunjukkan pada followers atau kawan-kawannya bahwa ia sedang berada di perpustakaan. Benar memang, dia berada di perpustakaan. Namun, sekadar untuk bersua foto atau mengabadikan estetika dari perpustakaan itu. Bukan malah memanfaatkan esensi dan fungsi sejati dari perpustakaan itu sendiri.
Di sini bukan berarti sepenuhnya saya melarang orang untuk berfoto lagi di area perpustakaan. Akan tetapi saya ingin mencoba untuk merekonstruksi pemahaman sebagian besar orang yang sudah mulai bergeser kaitannya dengan esensi dan fungsi sejati perpustakaan. Dan hal itu saya rasa akan cukup sulit, apalagi saat ini dunia sedang dihadapkan dengan dua situasi yang paradoks, antara pandemi dan digitalisasi peradaban (revolusi society). Di satu sisi, pandemi telah membatasi interaksi antar manusia di segala bidang dan situasi. Yang mana seluruh aspek kehidupan kini dituntut untuk mampu beradaptasi dengan metode-metode baru dalam menjalankan aktivitas yang biasanya dilakukan secara langsung/tatap muka.
Di sisi yang lain, digitalisasi peradaban semakin intens digencarkan. Hal ini ditandai dengan munculnya berbagai macam teknologi dengan fitur-fitur (AI) yang kian canggih dan efisien. Digitalisasi ini telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, baik itu pendidikan, ekonomi, birokrasi, hingga aktivitas-aktivitas sosial lain. Sayangnya, digitalisasi peradaban ini akan membawa dampak buruk yang luarbiasa apabila suatu bangsa tidak mampu mengimbanginya dengan kualitas SDM, khususnya ihwal kemampuan meliterasikan peradaban baru tersebut.
Oleh karena itu, demi mendukung terciptanya revolusi society dan digitalisasi peradaban tersebut diperlukan adanya infrastruktur yang bisa meng-encourage kualitas literasi bangsa ini. Dan menurut hemat punulis, perpustakaan adalah infrastruktur pembangun peradaban yang paling tepat dan relevan sampai kapan pun.
Sebagaimana kita tahu dalam sejarah peradaban umat Islam, dahulu di Dinasti Abbasiyah terdapat perpustakaan yang tersohor hingga ke penjuru dunia, namanya Bait al-Hikmah. Dengan begitu superiornya, waktu itu para cendekiawan muslim seolah menjadi poros peradaban ilmu pengetahuan dunia, dan karya-karya mereka banyak yang menjadi rujukan ilmuwan-ilmuan terkemuka.
Dampak yang begitu besar terasa bagi umat Muslim khususnya serta masyarakat dunia semenjak berdirinya Bait al-Hikmah. Sehingga ketika Hulagu Khan dan pasukannya meluluhlantahkan perpustakaan itu, hancur pula peradaban di dinasti Abbasiyah, khususnya. Banyak yang merasa kehilangan ketika karya-karya besar dari cendekiawan Muslim tenggelam dalam lautan tinta usai penaklukan oleh tentara Mongol. Seketika terjadi stagnansi pada waktu itu di tengah umat Islam spesifik dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Dari kisah runtuhnya Baitul Hikmah kita dapat ambil nilai-nilai esensialnya. Perpustakaan sejatinya merupakan infrastruktur prioritas dalam berdirinya atau majunya suatu peradaban. Sehingga penting bagi suatu bangsa untuk mengerti, untuk apa dan bagaimana perpustakaan itu dimanfaatkan sebaik mungkin? Tentu kejayaan peradaban Abbasiyah kala itu tidak akan menjadi keniscayaan ketika perpustakaan (Baitul Hikmah) hanya berdiri tanpa ada sinergi untuk mengembangkan dan menghidupkannya.
Lantas bagaimana cara menghidupkan peradaban melalui infrastruktur perpustakaan? Sederhana saja, kalau kita analogikan perpustakaan itu ibarat stadion sepakbola, maka cara menghidupkan stadion tersebut tak cukup jika mempercantiknya saja. Akan tetapi, stadion itu akan diklaim “benar-benar hidup” ketika atensi masyarakat di sekitar stadion itu besar dan dapat menciptakan atmosfer integerasi dari dalam stadion tersebut. Dan, itu masih belum cukup. Stadion itu akan semakin dikenal lagi oleh dunia, semakin dikenal maju oleh dunia luar, ketika tim sepakbola pemilik stadion tersebut dapat bermain secara maksimal dan turut dalam berbagai kompetisi, serta memperoleh banyak prestasi.
Maksud saya adalah ketika perpustakaan sebagai infrastruktur yang hakikatnya mewadahi pemikiran-pemikiran umat liwat bahasa tulisan. Maka akan menjadi “hidup” ketika pemikiran-pemikiran tersebut dibaca dan dikenal oleh—minimal—masyarakat sekitarnya. Karena ketika pemikiran itu gandrung di tengah masyarakat, literasi itu menuai atensi yang luarbiasa di tengah masyarakat. Dengan demikian peradaban yang literat pun akan tercipta dengan mudah.
Selain itu, internalisasi referensi-referensi maupun karya yang baik juga penting dalam melahirkan perpustakaan yang baik. Sehingga implikasinya, perpustakaan yang baik akan menciptakan peradaban yang baik pula. Ketika seluruh lapisan masyarakat berani unjuk diri dan memanfaatkan sebaik mungkin infrastruktur perpustakaan sebagai sarana akomodasi pemikiran-pemikiran mereka. Maka saya yakin betul, perpustakaan dapat menjadi batu lompatan untuk terciptanya masa depan suatu bangsa yang baik, beradab, dan literat.
Jadi, perpustakaan sejatinya secara esensial dan fungsional dibangun untuk sarana konstruksi peradaban. Bukan hanya sekadar meminjam atau membaca. Akan tetapi sirkulasi dari kodifikasi-kodifikasi pemikiran juga harus lahir dari dan di perpustakaan itu sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan, bangsa ini akan menjadi bangsa yang berkemajuan di bidang ilmu pengetahuan maupun teknologi sebagaimana dahulu Abbasiyah dengan Baitul Hikmahnya. Suatu keniscayaan bagi negeri ini untuk mewujudkan “Indonesia Maju” di saat perpustakaan-perpustakaan bisa dioptimalisasikan sebagai corong kemajuan negeri, yang mewadahi serta membentuk intelektual-intelektual dari penjuru tanah air. Jangan bicara soal kuantitas, karena sudah ratusan atau lebih barangkali perpustakaan yang tersebar di Indonesia. Akan tetapi, sudahkah kita merasakan peradaban yang literat? Bagaimana kualitas literasi kita?
Ini persoalan kualitas dan daya guna. Seperti halnya Finlandia atau beberapa negara lain di Eropa yang perpustakaannya tak seberapa banyaknya. Akan tetapi, mereka benar-benar telah memahami esensi dan fungsi dari perpustakaan. Bahkan masyarakat di sana bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menggali ilmu di perpustakaan. Kemudian dari ilmu yang mereka dapat—mereka tuliskan lewat penelitian maupun karya ilmiah semacamnya. Sehingga peradaban Eropa yang kita kenal saat ini adalah peradaban yang hampir “ngerti segalanya”. Mulai dari digitalisasi, AI, teknologi informasi, nyaris keseluruhannya diproduksi dan dikembangkan di sana.
Kini, giliran Indonesia!
Rizky Saputra, divisi karya Forum Lingkar Pena Blitar. Lahir di Blitar, 6 September 2001 dan merupakan mahasiswa Hukum Tata Negara di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Keren