Cerpen: Layaknya Mutiara

276
Sumber: freepik

Layaknya Mutiara

“Bi…”

“Iya, Mi…”

Umi cuma senyum-senyum, sepertinya dia akan terus memanggilku begitu. Tak ada yang lebih dari kami, keseharian kami banyak diisi dengan sapaan dan senyuman, mungkin karena kami banyak bersyukur karena baru dipertemukan, bahkan kami setengah bulan yang lalu saling kenal, dan baru tiga hari yang lalu kami menikah. Awalnya kami tidak memanggil Abi dan Umi, bahkan menyapa pun canggung. Mungkin aku lebih banyak berterimakasih karena buatan kopinya. Awal kali pertama aku memanggil Umi karena dia yang manggil Abi padaku.

“Hmm… Bi…,” panggil Umi lagi agak pelan membuatku melihatnya diiringi senyuman, dan kami tahu bahwa kami sama-sama merasa malu, tapi menyenangkan.

Aku meletakkan kitab Uqudul Lujain yang sedang kubaca, sepertinya Umi lagi ingin berbicara dengan serius padaku atau sekadar bercerita. Akhir-akhir ini, Umi sudah mulai bersikap manja padaku, aku pun juga begitu, sudah memberanikan tertawa kecil ketika Umi bercerita suatu.

Umi duduk di sampingku, yang jelas aku tak ada keberatan sedikit pun, karena hal itu yang aku harapkan, yaitu makin akrab tanpa harus terburu-buru. Biarlah waktu yang menentukan semuanya, karena keadaan yang paling baik bukan karena kemauan kita saja, tetapi memang keadaan yang menginginkannya begitu.

“Uang itu awalnya Umi tidak tahu bahwa itu dari Abi.”

Aku melihat lekat mata binar Umi.

“Uang…?” Aku masih belum sepenuhnya mengerti.

“Iya, uang yang Abi kasih ke Bang Iman setengah bulan yang lalu….”

Oh, aku jadi ingat sekarang, hari pertama aku mengenal Umi. Ah, jodoh memang tidak ke mana, dan semua orang pasti mempunyai kisah bagaimana pertama kali mereka bertemu, dan hal itu akan menjadi kisah yang sampai kapan pun akan dikenangnya, termasuk kisahku dan Umi.

***

Saat itu aku disuruh Abi untuk membeli bahan-bahan yang akan dibuat kue untuk lebaran ke pasar pusat kota. Jaraknya cukup jauh dari rumah, kira-kira empat hingga lima kilometer. Aku yang baru boyong kemarin dari pesantren karena sudah selesai menjalankan tugas, berangkat berpenampilan apa adanya. Memakai sarung warna hijau dan baju putih.

“Awas, hati-hati!” kata Umi dari pintu dapur yang melihatku.

“Insyaallah, Mi!” kataku sambil menghidupkan motor.

“Jangan lupa baca doa,” Abi menambahkan. Aku hanya tersenyum, tak seperti biasanya hari ini, semua terlihat begitu senang penuh kepedulian, mungkin karena aku baru kemarin boyong dari pondok, bahkan tiga tahun aku sengaja tidak pulang. Mungkin banyak yang berubah dariku, entahlah…

Bismillahi tawakkaltu alallah…, gumamku sebelum berangkat.

Di pasar sungguh begitu ramai. Aku parkir motorku di tempat biasa orang membuka parkiran kalau sudah hampir lebaran, karena dari saking banyaknya kendaraan berdatangan. Hari ini tidak begitu ramai karena hari telah terik dan bukan hari biasa orang ke pasar. Namanya juga pasar Senin-Kamis.

Sebenarnya aku juga ngerasa tidak enak, apalagi pasar paling ramai oleh ibu-ibu, bahkan penjualnya. Makanya, aku langsung ke toko Nuri, toko yang merupakan cabang dari pesantrenku. Di samping itu, karena tidak enak jika harus berdesakan dengan orang-orang kalo masuk ke dalam pasar.

Di dalam toko, aku melihat teman akrabku di pondok yang bekerja sebagai karyawan. Aku sengaja langsung mencari daftar bahan yang ditulis oleh Umi tanpa menemuinya dulu. Tidak terlalu banyak, cuma satu keranjang. Sehabis itu aku langsung menemui Arif untuk membayar. Di sana masih ada beberapa orang yang mengantre untuk membayar.

Aku sengaja tidak menyapa Arif, kita memang sudah lama tidak bertemu, entah apakah dia sudah lupa padaku. Setelah giliranku, aku meletakkan barang-barang di hadapannya. Arif lama memperhatikanku.

Abdullah?” Dia langsung terperangah, sebelumnya dia melihatku lekat sekali. Biasanya kalau kalian santri, pasti sedikit banyak tau mana yang santri dan yang bukan, apalagi satu pesantren.

Haha.. iya, kamu benar-benar kerja di sini rupaya.”

Kami saling bersalaman. Dulu Arif pernah cerita bahwa akan kerja di sini, karena rumahnya dekat, sekaligus bisa ngabdi.

“Lebih tepatnya ngabdi, Ab,” sesekali Arif memperlihatkan barang-barang yang kubeli pada mesin pembaca barcode untuk diketahui harganya. “Kamu sudah selesai peengabdiannya?”

“Iya, baru kemarin pulangnya.”

“Di mana?” maksud Arif tempat tugasku.

“Aku di daerah Madura.”

“Oh… makin gemuk aja, haha…” Arif melihat penampilanku.

Haha… aku dikasih makan, Rif. Kalau kamu tugas di mana dulu?”

“Aku dulu di Sidoarjo, banyak pengalaman di sana.”

Arif memberikan barang yang sudah dihitung harganya.”

“Berapa?”

“Tujuh puluh lima ribu.”

Aku berikan uangnya dan menerima kembalian dari Arif.

“Tidakmau mampir ke rumah dulu?”

“Gimana ya bawa belanjaan Umi, kapan-kapan saja, Rif, insyaallah…

“Aku tunggu!”

Aku hanya menjawab dengan senyuman dan langsung mengarah ke pintu untuk ke luar. Baru keluar, aku melihat perempuan dengan kerudung terurai baru keluar dari mobil. Dia  sepertinya juga ingin belanja di toko ini.

Dia berpapasan denganku saat hendak masuk, kuberikan jalan padanya. Saat itulah kulihat adalah sebuah dompet yang terjatuh tak jauh dari pintu mobil saat dia keluar. Sebuah dompet berwarna pink berukuran sedang. Aku melihat perempuan itu, tapi sepertinya sudah berada di dalam. Reflek saja aku mengambil dompet itu, tapi merasa tidak enak jika langsung aku kasih ke orangnya, entah mengapa merasa segan. Maka setelah mengambilnya, aku mengetuk pintu mobil depan, siapa tau ada sopirnya.

Ternyata benar, seorang laki-laki paruh baya membuka kaca mobil sebelah kiri yang ku ketuk. Aku tidak tahu apakah dia sopirnya atau bukan, soalnya dia memakai sarung dan baju koko layaknya seorang ustadz.

“Anu,  pak, ini dompet sepertinya milik anak bapak, tadi terjatuh saat membuka pintu mobil”

Aku memperlihatkan dompet itu, bapak itu langsung terperangah keluar dari mobil menemuiku.

“Ini milik Neng Ifa..!”

Aku memberikan dompet itu dan bapak yang tadi langsung masuk ke dalam toko untuk memberikan pada perempuan tadi. Aku yang memberikan dompet itu hanya tersenyum melihat bapak tadi yang buru-buru masuk toko. Sekilas aku teringat akan wanita itu, siapa Neng Ifa? Aku tak peduli, siapapun itu bukan urusanku, tapi menolong dompet itu baru urusanku.

***

Ketika sudah separuh dari perjalanan, awalnya aku tidak curiga ada mobil yang mengikutiku, mungkin memang satu jalur. Tapi, ketika sudah hampir sampai ke rumah, aku mulai curiga dengan mobil yang mengikutiku sambil menduga dalam hati, mungkin itu orang dinas untuk pergi ke rumah kepala desa.

Tapi nyatanya tidak, aku sudah melewati rumah kepala desa dan mobil itu tetap mengikutiku hingga aku berbelok pada jalan yang hanya ke rumahku saja.

Aku berhenti di halaman rumah, turun dari motor, tapi mobil itu juga masuk ke halaman rumahku, padahal jarang ada mobil ke halaman rumah, biasanya berhenti di samping masjid. Mungkin karena orang itu tidak tahu, atau baru pertama kalinya.

Aku berdiri memperhatikan siapa sebenarnya pemilik mobil itu. Pintu kiri mobil terbuka, dan ternyata seorang wanita berkerudung terurai. Ya, dia adalah wanita yang ku tolong dompetnya. Tapi untuk apa dia mengikutiku hingga sampai ke sini? Kulihat kedua matanya, tapi terlalu segan untuk menatapnya berlama-lama. Maka aku alihkan pandanganku pada bapak yang memakai baju koko yang juga keluar dari mobil. Melihat itu, aku langsung bertanya pada bapak tersebut.

“Ada apa ya, Pak?”

“Anu, Neng Ifa…” bapak itu menunjuk perempuan tersebut dengan jempolnya seraya merunduk takzim. Aku jadi tidak enak, karena sepertinya wanita itu keturunan seorang kiai.

“Hemm… kamu yang menolong dompet itu?” Tanya perempuan itu.

“Iya…” aku jawab seadanya, selebihnya hanya tersenyum tak mengerti.

“Terima kasih…”

“Iya…” kataku kembali, masih dengan wajah yang kurang paham apa sebenarnya yang ia inginkan hingga harus jauh-jauh datang ke sini, apakah hanya untuk mengucapkan terima kasih?

Saat itulah Umi keluar rumah karena menyadari ada mobil.

“Siapa, Ab?”

Kami bertiga melihat ke arah Umi. Bik Habi tetangga depan rumahku juga keluar.

“Siapa, Ab?”

Nyai Sofi juga ikut keluar rumah.

“Siapa, Ab?”

Mendengar tiga pertanyaan yang hampir bersamaan itu membuatku tidak tau harus bagaimana, hanya bisa senyum-senyum sendiri. Aku pun belum sepenuhnya mengerti dengan wanita itu hingga harus ke sini. Saat itu seolah tubuhku diikat erat sekali dari berbagai sisi. Semua menunggu reaksiku, wanita itu cuma menunduk, bapak yang memakai baju koko pun hanya tersenyum padaku. Saat itulah aku berkata pada si sopir.

“Mungkin lebih baiknya kita mampir dulu ke rumah, Pak”

***

“Oh… ke sini cuma ingin mengucapkan terimakasih? Haha…” Abiku merasa lucu ketika bapak itu menceritakan kejadian di pasar hingga wanita itu memberanikan diri ke sini. Pak Iman, begitulah dia memberitahukan namanya pada Abi.

“Iya, Neng Ifa ngerasa tidak nyaman katanya…”

“Dari mana?” Abi bertanya asalnya Pak Iman.

“Dari Sumber Jambe”

“Wah.. cukup jauh ke sini. Di mananya pondok pesantren as-Syifa?”

Pak Iman tersenyum pada Abi, “Kami memang dari sana, Neng Ifa ini putri Kiyai As’ad Muhammad”

“Oh, jadi… masyaallah, kalau tidak salah kamu Hitthatul Iffah?”

“Iya..”

“Saya biasanya setiap selesai lebaran ke sana. Kiai Muhammad Baidhowi, kakeknya jenengan masih ada hubungan kerabat dengan kakek saya, almarhum Basyori Muhammad. Jadi tidak salah kalian mampir ke sini, sekalian silaturahmi

“Oh… jadi…” Pak Iman terlihat heran, aku pun juga begitu. Tapi wanita itu dari tadi lebih banyak diam, membuatku tidak enak sendiri.

Kejadian ini sungguh di luar dugaan, aku hanya senyum-senyum sendiri. Wanita itu begitu mulia hatinya hingga jauh-jauh ke sini hanya untuk mengucapkan terima kasih, mengapa tidak dijalan saja, aku juga merasa salah kalau begini.

Maka aku ke dapur bantu-bantu Umi, mengulang cerita yang tadi. Umi hanya tersenyum mendengarnya, beliau pasti mengerti karena juga mengalami masa remaja sepertiku. Kalau saja kalian yang mengalami peristiwa semacam ini pasti juga akan berpikiran yang sama. Sungguh hati bertumpuk tanda tanya, ada wanita yang memberanikan datang ke rumah laki-laki untuk mengucapkan terima kasih, jelas adalah hal yang tidak wajar, jaraknya pun terbilang jauh.

Padahal aku cuma menolong dompetnya dan memberikan pada Pak Iman, tidak pada orangnya langsung karena merasa canggung, aku pun memilih pergi saja langsung ke tempat parkir, pasti dia langsung mengejarku, dan urung untuk membeli sesuatu di toko itu. Aku merasa salah padanya.

“Iya, Ab, kami biasa mengadakan haul Kyai Mahmud Abdullah setiap tahunnya di sana, biasanya setelah lebaran ini. Semua keturunannya dinamakan Bani Mahmud, makanya Abimu menamaimu Muhammad Abdullah, tabarruk pada beliau, Kiyai Mahmud Abdullah.”

Jelas Umi ketika aku mengatakan bahwa, kata Abi antara kakek dan kakek wanita itu ada hubungan kerabat. Sebuah kebetulan yang luar biasa bukan? Ya, aku cuma bisa bersyukur senyum-senyum sendiri menyadari hal itu. Tapi aku tidak terlalu berharap, apa lagi terlalu jauh. Bagiku hari ini adalah hariku, tanpa harus berharap pada hari yang akan datang, karena yang pantas dijadikan cerminan itu hanyalah hari yang telah berlalu, maka memperbaiki hari ini juga untuk menghadapi hari esok.

Tidak begitu lama Neng Ifa dan Pak Iman di rumah, mereka pamit untuk pulang, Umi memberikan berbagai macam kerupuk mentah dan buah-buahan, diantaranya buah nangka.

“Ini sudah selesai dikuliti, Kiai As’ad Muhammad suka buah nangka.”

“Terimakasih, Umi.” jawab neng Ifa menerima bungkusan dari Umi.

“Loh…” Umi agak heran, karena neng Ifa memanggil Umi.

“Saya anggap orang tua sendiri.”

Umi langsung memeluk Neng Ifa, aku hanya melihat saja, semenjak dia datang aku memang lebih banyak diam. Aku membantu Pak Iman menaikkan kardus oleh-oleh ke bagasi mobil. Kalau perasaanku jangan ditanya, ingin berbincang dengan perempuan itu meski hanya sebentar, ingin bertanya mengapa harus mengikutiku dan mohon maaf jika harus membuatnya datang ke sini. Tapi hati ini yang berontak, tidak siap, takut, malu, segan, canggung, entah apa perasaan lainnya yang membuatku harus selalu menunduk. Sudah lama aku melatih hati ini untuk terbiasa dengan perempuan, tapi tetap saja.

“Kapan-kapan mampir ke sini lagi.”

Insyaallah, Mi.” Jawab perempuan itu yang dipanggil Neng Ifa.

***

“Tidak kusangka hati suamiku setulus dan seindah itu”

Aku hanya melihat Umi yang tersenyum manja di sampingku.

“Abi kan, yang ngasih uang seratus ribu ke Pak Iman dan suruh jangan kasih tau ke Umi untuk membeli bensin dalam perjalanan pulang?”

“Oh..” aku menjawab seadanya tetap tersenyum.

“Awalnya Umi tidak tahu mengapa Pak Iman menolak uangku saat mengisi bensin, setelah diurus, ternyata katanya Abi telah memberikan uang bensin untuk perjalanan pulang saat membantu Pak Iman meletakkan kardus oleh-oleh ke bagasi mobil.”

Aku tersenyum mendengar cerita singkat Umi, sekarang sepertinya aku sudah mulai benar-benar akrab dengan istriku.

“Ya mau gimana lagi, Mi, kan Umi udah jauh-jauh ke rumah hanya untuk ngucapin terima kasih, Abi jadi merasa bersalah dan tidak nyaman.”

Umi tersenyum, dia sandarkan tubuhnya padaku. Sekarang aku benar-benar bersyukur, wanita yang setengah bulan yang lalu bertemu, kini telah sempurna menjadi milikku. Aku yang dari dulu malu pada perempuan, merasa canggung dan sebagainya. Tapi sekarang lihatlah, mungkin memang harus seperti itu memperlakukan wanita.

Hati perempuan di sampingku ini bagiku layaknya mutiara, tindakannya selalu takut menyinggung perasaan orang lain, bahkan menjaganya. 

achjalaludin. Awalnya aktif di FLP Rangting Banyuanyar, terus melanjutkan ke FLP Pamekasan
Konten sebelumnyaPerpustakaan Sebagai Infrastruktur Peradaban
Konten berikutnyaPuisi dan Cinta

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini