Setelah membaca sebuah majalah, aku terkesiap tatkala melihat sebuah tulisan yang hampir sama ceritanya dengan kisah seorang sahabat, ia mengalaminya beberapa tahun yang lalu. Saat itu, ia baru saja lulus dari sebuah perguruan tinggi, ia mengambil jurusan ekonomi manajemen. Rencananya selepas pendidikan dia akan membuka sebuah bank syari’ah yang di kelola secara berkala menurut versinya.
”Ah, mana mungkin bisa tercapai mimpiku ini,” ujarnya pesimis.
Kegamangan mulai melanda jiwa mudanya, apalagi ia merupakan anak sulung dari tiga bersaudara yang secara tidak langsung sudah dihadapkan pada sebuah masalah pelik, membantu biaya pendidikan adik-adiknya, juga memenuhi kebutuhan ayah-ibu yang sudah renta. Hasil kerja sambilannya masih kurang mampu menahan derit roda kehidupan yang makin hari makin mahal saja.
Suatu hari, ia memberanikan diri bertanya pada guru mengajinya perihal rencana membangun sebuah usaha yang tidak jauh-jauh dari hasil belajarnya di universitas. Ya, membangun ekonomi syari’ah di kampung halamannya.
“ Saya tidak punya modal untuk memulainya, Guru…,” Jawabnya. Keraguan menyelimutinya. Sang guru belum bergeming dari diamnya, entah apa yang akan dinasehatkan kepada santri kesayangannya tersebut.
“ Kamu sudah punya modal, tetapi kenapa kamu tidak tahu dan merasa tidak punya modal? Padahal modalmu itu sudah cukup berlimpah dan tidak ternilai harganya.”
Ia tak paham dengan kata-kata yang di lontarkan sang guru kepadanya.
“ Dari mana saya punya modal, Guru? Gaji saya hanya cukup untuk membantu meringankan beban orang tua.”
“Allah Maha Kaya, dan kamu sudah dipinjami modal Allah berupa kesehatan. Tapi, kamu tidak mau menggunakan kesehatan itu dengan maksimal, ” jawab sang guru seraya tersenyum.
“ Kamu punya tangan, kaki, dan otak yang sempurna! Modal dari Allah itu bisa kamu manfaatkan! Kamu bisa memutar otak, menggunakan tangan dan kaki untuk bekerja lebih giat lagi. Jadi, modal dari Allah itu lebih berharga dari sejumlah uang yang kamu dapatkan selama ini, patutlah kamu untuk mensyukurinya,” sang guru menjelaskan lebih detil agar muridnya itu mengerti.
Sahabatku tadi baru sadar, anugerah kesehatan yang telah di berikan-Nya ternyata membuka mata hatinya untuk senantiasa bersyukur. Modal itu pun baginya sangat bernilai, coba kalau ia lahir dengan keadaan cacat, tidak memiliki tangan atau kaki, sudah barang pasti ia tidak mempunyai seutas pun harapan. Maka, semenjak itu ia selalu memanfaatkan modal dari Allah tadi sebaik-baiknya, hingga ia benar-benar berhasil menjadi seorang ekonom handal di kampung sekitarnya. Saat tulisan ini ditulis, sahabatku itu sudah bertransmigrasi ke Medan. Membangun dan ikut mengelola suhu ekonomi di sana.
“ Modal dari-Nya harus kita jaga, Na…,” tuturnya bersemangat
Dari kisah di atas, setidaknya pernahkah kita mengakui sebuah “modal berharga” dari-Nya? Janganlah pernah anda mengatakan “saya tidak punya modal” sebelum benar-benar merasakan pedihnya tidak mempunyai salah satu anggota badan.
Marhaban Yaa Ramadan..
Penulis; Anna Ilham, divisi bisnis FLP jatim.