Home Cerpen Bukan Untukku

Bukan Untukku

385
sumber ilustrasi: pinterest

Oleh: Chusnul Islamiyah

Hujan menjatuhkan airnya dengan deras seolah-olah penuh ambisi menghabisi bumi. Terdengar amat berisik tatkala aku menghampiri pintu rumah yang masih menganga. Suara entakan air yang cepat dengan diiringi suara guntur yang meledak-ledak sedikit teredam saat pintu kututup rapat, lalu langkahku kembali menuju ruang kamar. Sudah hampir satu jam aku memainkan game di layar handphone-ku sampai merasa bosan. Kuletakkan handphone di atas kasur dan kulihat sekitar kamarku hingga pandanganku menemukan sebuah remot teve. Kuraih dan kutekan tombol power.

Tiba-tiba, suara guntur yang terdengar marah, membuatku kaget, spontan kutekan tombol power lagi pada remot yang masih di genggamanku.

Sejenak aku memperhatikan sekeliling kamarku, mencari hal yang ingin kulakukan untuk menepiskan kebosananku. Kupandang dari arah kanan ada tumpukan baju di atas keranjang, ia telah beranak-pinak menjadi gunungan baju dari jemuran yang enggan aku lipat. Lalu pandanganku berhenti saat melihat suvenir pernikahan sahabatku, Mareta, sebuah telenan kayu yang tertorehkan lukisan digital foto mereka berdua di atasnya. Kuembuskan napas berat dan membuang pandanganku ke bantal, lalu kubenamkan wajahku di bantal.

Terdengar lagi di atas atap-atap rumah seperti naga yang menyemburkan api murkanya dan  tepat di atas atap kamarku puncak suara guntur itu jatuh.  Rasanya sudah seperti tepat jatuh di jantungku, menggelegar dan  memudarkankanya menjadi serpihan yang tak berdaya.

Tiba-tiba, terdengar sayup orang mengetuk pintu rumahku. Dalam benakku bertanya, siapa gerangan kurang kerjaan pada malam hari hujan deras, angin dan guntur bersatu menyerang bumi bertamu kerumah. Meski hati bertanya-tanya, langkah penasaran mendorongku untuk turun dari kasur dan keluar membukakan pintu rumah.

Dan….

Deg!

Saat melihat sosok yang ada di depan pintu membuat jantungku yang tadi terserang suara guntur menjadi serpihan, kembali utuh lagi, mengeras dan semakin keras, hingga beku, lalu pecah dan menjadi pecahan yang jatuh di lantai hingga aku hendak mendekatinya terasa ngilu kakiku terkena pecahannya. Dia yang datang adalah Jeri suaminya Mareta sahabatku.

“April… maafkan aku…,” ucapnya sambil menampilkan wajah memelas. Pertanyaannya membuatku bingung.

“Ada apa denganmu? Mana Mareta? Kamu sendirian?”

Karena tidak paham dengan apa yang dia maksud, kulempar pertanyaan yang wajar saja untuk mencoba bisa menetralkan raut wajahnya yang terlihat sedih dan cemas. Tapi Jeri menekuk kakinya, merendah, lalu duduk bersimpuh di hadapanku. Sangat dramatis melihatnya dengan rambut dan bajunya basah, sepertinya dia menembus hujan untuk kemari. Kutengok di luar ada sepeda motor yang menunggunya. Aku yakin dia mengendarai motor dan tidak menggunakan helm. Memberikan kesan sangat terburu-buru untuk datang kemari.

“Aku baru sadar bahwa kamulah yang selama ini membantuku menyelesaikan tugas akhirku, dan bodohnya aku tidak menyadari hal itu.”

Setelah pernyataaan itu keluar dari mulutnya yang bergetar, aku baru memahami alurnya. Dia seperti terguncang, perasaaan salah atau semacam penyesalan telah memilih Mareta menjadi istrinya yang sebenarnya tidak tahu apa pun tentang perjalanan tugas akhir kuliahnya di Singapura. Singkat cerita, aku, Mareta, dan Jeri dahulu satu sekolah dan kami berpisah semenjak lulus SMA untuk melanjutkan perjalanan belajar. Jeri pergi ke Singapura untuk mengambil studi S-1. Saat mengerjakan tugas akhirnya, ia memberikan kesempatan kepadaku untuk membantunya. Bisa dikatakan, aku yang membersamai Jeri menyelesaikan tugas akhirnya melalui email. Namun, email yang sering kugunakan untuk mengirim adalah email Mareta. Karena memang aku dan Mareta tinggal satu kontrakan dahulu saat kuliah. Laptop yang kami gunakan hanya satu dan sudah terdaftar akun email milik Mareta.

“Lalu apa maksudmu datang kemari?”

“Aku ingin minta maaf… telah memilih Mareta, bukan kamu. Padahal aku janji sepulang aku wisuda aku akan melamarmu.”

“Jeri …. apa yang kamu katakan?” Tiba-tiba ada yang hangat keluar dari sudut mataku, mengalir keluar membuat parit di pipiku. Tak terbendung air mataku. Tak bisa berbohong kekesalanku.

Jeri berdiri dan meraih tanganku. Secepatnya, aku mundur dan melepaskan tanganku dengan kesal. Kututup mulutku agar tak meraung keras tangisku.

Jeri semakin berani mendekat dengan wajah kesal bercampur sedih. Lalu kuarahkan jari limaku kepadanya.

“Cukup, Jeri, semua sudah terlambat… sangat terlambat….”

“Tidak, April. Aku akan memperbaikinya. Terima aku. Jujur…. aku tidak bisa bersama Mareta. Dia tidak tahu apa pun tentang aku. Dan, dia sangat berbeda waktu itu.”

“Jelas berbeda. Waktu itu memang bukan Mareta, tapi aku! Dan kamu dengan jelas telah jatuh cinta saat pertama kali bertemu Mareta untuk pertama kali jumpa setelah empat tahun lamanya berpisah.”

“Maaf… dan tolong aku…, aku ingin kamu saja.”

“Kamu ini gila atau apa?”

“Terserah kamu bilang aku apa, asal kamu menerimaku.”

“Pulanglah kepada Mareta, jika masih ingin aku dan kamu baik baik saja. Semua sudah sangat terlambat. Jika kamu memaksa seperti ini, orang yang paling salah adalah aku, Jer. Aku! Bayangkan saja, aku akan ditetapkan sebagai sahabat yang tega merebut suami sahabatnya!” Napasku terasa habis berkata panjang dan penuh emosi.

“Tapi kenyataannya tidak seperti itu, kan? Peduli apa dengan omongan orang?”

“Cukup! Pulang! Kamu sudah sangat keterlaluan. Pikirkan lagi Mareta, orang tua Mareta, orang tuamu, aku, dan orang tuaku. Keadaannya sudah sangat tidak memungkinkan untuk kita. Lebih baik lupakan.”

“April….”

Kudorong tubuhnya yang memasrahkan untuk memelukku. Dengan tegas, kudorong ia hingga keluar dari pintu rumahku. Kututup rapat dan kukunci.

Hujan masih deras, menyamarkan suara tangisku yang semakin pecah. Aku masuk ke kamar, secepatnya kubenamkan wajahku pada bantal dan teriakku sekeras-keras tenaga yang tersisa.

Ibarat kancing baju yang sudah salah dari atas, tidak akan bisa serasi sampai ke bawah. Semua keadaan ini tidak bisa untuk dipandang sebagai sesuatu yang indah jika aku menerima Jeri. Aku telah melalui hari-hari yang suram saat mereka bercerita memilih gaun pengantin, memilih dekorasi, sampai undangan pun aku menyertainya. Memendam semua perasaan benci, tapi tak bisa benci, memendam perasaan senang, tapi berat. Aku yakin Jeri bukan orang yang tepat menjadi jodohku.

Hal ini sudah menjadi renungan panjang di setiap malam menjelang pernikahan Mareta dan Jeri. Selalu kukatakan pada hati yang hancur ini untuk berbaik sangka kepada Allah Swt. atas kesalahpahaman yang terjadi. Aku yakin Allah telah mengatur segalanya dengan sangat baik. Aku pernah mendengar suatu pernyataan yang meneguhkan hatiku, yaitu jika keinginan seseorang tidak terkabul, bukan hal buruk yang terjadi, tapi ada hal yang lebih baik karena keinginan Tuhan yang sedang terjadi. Jika memang rencanaku tidak terkabul, semua yang terjadi ini adalah rencana-Nya. Meyakinkan diri untuk menerima dengan lapang dan hati penuh suka.

Semoga Jeri bisa memahami keadaan ini dan lebih bijak dalam mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya bersama Mareta.

3 APRIL 2022

Kala malam Hujan Lebat di Dusun Gumeng Banjaragung Rengel-Tuban

Chusnul Islamiyah anggota FLP Tuban, juga merupakan guru Multimedia di SMK Negeri Rengel. Alumnus Universitas Airlangga Prodi S1 Sistem Informasi. Karya yang telah dibukukan bersama teman-teman yaitu Antologi Esai Perempuan-Perempuan Pemintal Benang Kehidupan 2021.

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here