Peran Ibu dalam Mewujudkan Lingkungan Inklusif Sejak dari Rumah

255
ilustrasi: iStockphotos

Oleh: Eva Ariyani

Lingkungan inklusif memberikan harmonisasi kehidupan. Karena setiap dari kita adalah istimewa. Tidak ada orang yang ditinggalkan. Setiap kita menghargai dan memberi kesempatan orang lain yang pasti berbeda dengan kondisi kita. 

Seorang wanita, terutama ibu, memiliki kesempatan untuk terlibat dalam menghargai perbedaan di sekitar kita. Dengan tetap memegang teguh nilai-nilai dasar pribadi, ibu mampu menciptakan lingkungan inklusif. Hal ini bisa dimulai dari rumah dulu.

Berikut adalah cara mewujudkan lingkungan inklusif dari ekosistem terkecil, yaitu keluarga.

Sadari 

Kita harus menyadari bahwa manusia tidak luput dari bias. Pasti ada perbedaan dari masing-masing kita, sehingga kita bisa saling menghargai satu sama lain. 

Salah satu contoh adalah tentang ilmu pengasuhan. Satu teori bisa jadi cocok di masa lalu, belum tentu pas jika diterapkan di masa kini. Dunia telah mengalami banyak perubahan dari hari ke hari. Tantangan kita dalam mengasuh anak-anak, pasti berbeda dengan apa yang dialami orang tua kita dahulu. Maka, wajib bagi kita untuk bijak memperlakukan anak-anak. 

Nilai saling menghargai perbedaan pun dapat kita terapkan pada anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Semua berangkat dari bagaimana kita memandang anak-anak sebagai individu lain yang berbeda. Mereka pasti memiliki keistimewaan sendiri-sendiri. Setiap mereka itu istimewa dengan keunggulan dan kekurangan masing-masing. 

Perkuat dengan pemupukan nilai-nilai moral dan spiritual. Sehingga dengan lingkungan yang nyaman dan aman, mereka bisa dengan mudah mengembangkan potensi diri. Namun, tetap punya pedoman dalam kehidupan, terutama ketika datang waktu mereka bersinggungan dengan dunia luar. Mereka bisa menerapkan apa yang sudah orang tuanya berikan.

Edukasi diri

Ibu adalah pembelajar sepanjang hayat. Kehidupan terus berkembang. Maka seorang ibu pun harus selalu bersemangat meningkatkan diri dengan terus belajar hal baru. 

Tidak hanya belajar dari dalam kelas, tetapi bisa juga dari lingkungan sekitar. Dari alam maupun keluarga dekat kita. Dengan belajar, kita yang dulunya tidak tahu bisa menjadi tahu. 

Kita bisa memiliki banyak pengetahuan untuk bisa melihat dari sisi yang berbeda, sehingga kita bisa lebih bijak menyikapi perbedaan. Pun pada anak-anak, ibu juga harus menjadikan mereka selalu haus ilmu. Terus mau mencoba, berusaha, dan belajar. Menjadi teladan adalah cara jitu untuk memupuk sifat gemar mengedukasi diri pada anak-anak. 

Kemudian, bagian dari mengedukasi diri adalah dengan berbagi. Kita sebarkan ilmu atau informasi yang baru didapat. Kita olah sebaik-baiknya, dengan bahasa yang lebih sederhana. Dengan tujuan semakin banyak orang, dari kalangan apa pun, mau menyimak apa yang kita sampaikan. Setelah menyimak, semoga mereka mendapat pula apa yang kita maksudkan.

Di masa kini, kita bisa menggunakan media sosial untuk saling berbagi dengan mudah. 

Empati

Setelah mengedukasi diri, kita perlu mengasah empati. Karena pastilah ada orang-orang yang belum tahu sebuah informasi, misalnya. Nah, dari sini kita perlu memahami apa yang terjadi padanya. Tidak serta-merta merendahkan, tetapi justru kita harus mau mencoba mencari tahu alasan dari sudut pandang yang berbeda dari diri kita. 

Mungkin, kita percaya akan nilai-nilai yang kita lakukan sudah benar. Atau kita sudah mahir dalam sebuah ilmu. Jangan lupa, orang lain bisa jadi belum mencapai seperti apa yang kita capai.

Pada anak-anak, misalnya. Karena rentang usia yang jauh, sangat wajar jika terjadi perbedaan antara mereka dan kita. Bisa jadi mereka keliru bersikap. Nah, karena sudah tahu ilmu yang benar, kita bisa menggunakan sudut pandang mereka dalam bertingkah laku. Jadi, tidak serta-merta marah ketika mereka berbuat salah. Tidak terburu kecewa saat mereka berbeda keputusan dengan kita.

(Jangan) Diam

Jika kita terus mengedukasi diri, kita bisa tahu banyak hal. Dengan menggunakan empati pula, kita jadi punya kesempatan berkontribusi di celah mana untuk mewujudkan lingkungan yang inklusif.  Kita tidak boleh hanya diam supaya dapat bermanfaat bagi orang lain.

Begitu pula ketika kita tahu ada kesalahan. Jika kita diam, barangkali ada hak orang yang terlanggar. Ada ilmu yang belum tersampaikan, ada sesuatu yang perlu kembali ditegakkan. Namun, kita perlu bijak pula dalam mengingatkan pihak lain. Gunakan komunikasi efektif, yaitu dengan cara dan waktu yang tepat.

Jika anak melakukan kesalahan, sadari dulu bahwa mereka pasti punya alasan yang berbeda dengan kita. Dengan ilmu dan empati yang kita punya, cari waktu yang pas untuk mengingatkan.  Berikan ruang mereka untuk berkreasi dan mengungkapkan pendapat. Jadilah pendengar yang baik, kemudian teman diskusi yang bijak. Terakhir, dengan lapang dada, ajak mereka mengambil kesimpulan dan hikmah dari setiap kejadian.

Dari huruf awal keempat cara di atas, yaitu SEED, bisa kita terjemahkan sebagai bibit. Dengan analogi bibit ini, semoga bisa menguatkan posisi ibu sebagai punggawa peradaban yang menanam bibit dengan baik dan merawat secara penuh kasih sayang. Ibu bisa merawat bibit sendiri. Namun, akan lebih efektif jika menjadikannya kebun, bersama-sama dengan petani lain yang juga merawat bibit masing-masing.

Karena sebenarnya jika bersama, seorang wanita bisa lebih mudah berjuang. Women support women. Hingga kelak, saat panen raya, bibit-bibit yang tadinya kecil bisa berubah menjadi tanaman-tanaman yang memberikan banyak manfaat. 

Eva Ariyani Muhadi adalah ibu dua orang putri yang tinggal di Jember- Jawa Timur. Menulis memang hobinya sejak kecil. Hingga sekarang Eva lebih aktif menulis di blog dan sosial media lainnya. Beberapa buku antologi anak telah disusunnya. Harapannya adalah menebar kebaikan dan memupuk kebermanfaatan. Silakan baca karya-karyanya di www.evariyanim.blogspot.com atau akun ig @evariyanim

editor: Niswahikmah

Konten sebelumnyaMenyambut Ramadan dengan Ketulusan
Konten berikutnyaBukan Untukku

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini