“Aku tahu ini berat. Teramat, Malah.”
Untuk kedua kalinya aku mengatakannya padamu. Mulanya, untuk menghibur. Namun, selanjutnya aku mengubah niat. Kali ini agar noda yang melekat di hatimu itu pudar. Kendati bukan urusan mudah mengindahkannya.
Gambar hanya ilustrasi |
Di seberang, kau hanya berdiri mematung. Entah dapat tenaga dari mana kau hingga tangguh melakukannya. Padahal, aku menduga lima menit lalu tubuh berdaging tipisnmu itu tumbang. Mungkin, ujung kisahmu ini membunuh kalut di perutmu, dan sahara yang menggersangkan tenggorokanmu.
“Ketahuilah,” kataku “Bukan salahmu ini terjadi.”
Kau abai meski merasakan aku berjalan mendekat.
Kutepuk pundak kanannya dan memberinya cengkeraman lembut.
Tetap saja. Kebiasanmu hingga pertengahan dua puluhan ini tidak berubah: BUNGKAM. Kehilangan minat untuk meloloskan kata-kata benak. Sejak membersamaimu ketika rengekan perdanamu meledak, jujur saja, aku mendambakanmu ‘bersuara’. Sesuatu yang muncul dari geming bibirmu. Ah, mungkin kau masih memulihkan diri dari luka dengan menatap ke luar jendela.
Tunggu. Coba lihat. Sebenarnya apa yang menarik dari balik jendela?
Sebagai manusia, aku justru membeku mendapati keadaan itu. Sungsang keberanianku. Bagaimana tidak, selain “salju” pekat terus menderas jatuh—dan membenamkan jalanan dan rumah di tiap sudut—langit begitu muram. Berat sekali. Tidak. Kurasa ini bukan mendung. Bukan juga gerhana. Hei, jika ini gerhana, tidak perlu menunggu lebih dari satu jam matahari untuk tampil lagi.
Tapi, apa ini? Dan, apa yang membuat kau menancapkan pandangan kepadanya?
Jawaban itu ada pada Luhut. Pemuda yang kini kupandangi. Pada bibir yang masih mengatup rapat itu. Namun, kalau kalian mendesak aku memiliki satu dugaan. Dan, butuh keteguhan untuk memastikan ini. Baiklah, aku akan mengatakannya. Kurasa, ini pertanda bahwa ‘pria itu sudah muncul dari balik dua tirainya.’ Aku yakin, kalian memahami siapa yang aku maksud.
Tidak, kurang jelas?
Baiklah. Kata kuncinya adalah dia sutradara palsu yang diberi kelebihan untuk mengkreasi alurnya sendiri. Dunia pernah menjadi saksi dua kali saksinya. Perseteruan maha dahsyat yang mempertemukan dua kutub militer terbesar. Edisi pertama dimenangkan penakluk kekhalifan terakhir, Ustmani. Dan jawara kedua ialah yang mempecundangi der Führer di negaranya sendiri.
Entah itu memang ulahnya atau bukan, aku—sekali lagi—tidak bisa memastikannya. Itu masih hipotesisku. Terpenting sekarang adalah kami masih lolos dari pantauannya. Konon, dia memiliki kekuatan magis yang sangat dahsyat, mengalahkan segalanya. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang berhak mengambil keputusan atasnya. Tidak hingga waktunya tiba.
Ruangan tempat kami berteduh—ruang tamu dengan asbes nyaris amblas karena tumpukan salju hitam yang memberat—diselimuti hawa dingin yang melilit tubuh. Udara pun juga menyesakkan. Tapi tengoklah Luhut. Dia seperti kebal terhadap hawa dan udara ini. Jika tadi urusan perut ditumpas oleh tatapannya maka urusan ini mungkin dirampas oleh Hilay.
Hilay adalah gadis ramping seusianya yang menonjol dengan otak kirinya. Gadis itu sukses merampas perhatian Luhut dengan kelihaiannya mengotak-atik kode komputer. Pun, berhitung adalah hidangan kegemarannya. Bekunya otak Luhut terhadap bidang itu membuatnya jatuh hati.
Rambut hitam panjang Hilay serupa kamuflase. Keindahan yang menyimpan keteguhan. Yang kerap kali diikat ekor kuda. Sorot matanya tajam, seakan menegaskan kejeliannya. Hilay menjadi satu-satunya sosok yang mampu memahami Luhut. Menerjemahkan ‘kalimat bisunya’—melalui jari tangan—dengan sangat valid. Dan, Hilay menjadi kepingan terakhir dalam hidup Luhut.
Tak hanya memukau parasnya, Hilay juga membuat Luhut bertekuk lutut berkat prestasi mencengangkannya: meretas sistem keamanan situs militer salah satu negara tangguh—yang sudah lepas jabatan untuk boyongan ke rumah baru.
Bersama Hilay, Luhut bisa “BICARA” melalui tangannya. Meloloskan teka-teki di kepalanya. Kini tidak ada lagi dinding penghalang. Dinding kesabaran yang terus dia bangun dari waktu ke waktu. Untuk menemukan seseorang yang mampu mengerti dirinya tanpa harus bersusah payah menjadi orang lain.
Akan tetapi, kebahagiaan itu pasti berlalu. Cepat atau lambat. Andai Luhut mampu mengolah emosinya dengan cermat. Mungkin kesalahaan itu bisa dianulir. Namun sayang, ego itu melumatkan segalanya. Entah bisikan apa yang mendorong Luhut berbuat seperti itu.
Suatu ketika, Luhut menjanjikan Hilay waktu untuk bekerja sama. Luhut bertugas mengoleksi informasi terkait bencana yang akan datang—asap itu, sedangkan Hilay menyiapkan diri menjadi mediator untuknya. Rencana berjalan mulus pada awalnya hingga keruh muncul kemudian.
Ketika urusan alih bahasa selesai, Luhut dengan ceroboh meletakkan cetakan enkrispi di sembarang tempat. Ketika itu aku sudah memperingatkannya untuk menyimpannya dengan baik. Tapi dia abai. Keburu bertemu dengan Hilay lagi, katanya. Alhasil, cetakan enkrispi itu lolos ke publik.
Dalam hitungan menit, kota sudah dibungkus oleh desas-desus. Entah benar entah salah. Para wartawan sigap terjun. Menyerbu orang-orang yang berkepentingan. Menggali informasi. Kata pejabat itu berita bohong. Kata tukang becak tetangga Luhut itu benar. Kata tukang bakso langganan Luhut itu hanya untuk menakut-nakuti belaka. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Belum. Gumamku. Mereka belum sampai pada tahap memahami. Masih meraba. Mirip seperti balita yang berjalan merangkak sambil mencari tahu benda apa yang baru dia temui—dan mencoba menjejalkannya ke dalam mulut.
Mengetahui kecerobohan Luhut mengundang kepanikan masal, Hilay berang. Wajahnya menggurat datar. Tatapannya lebih tajam dari biasanya. Bibir tipisnya bungkam. Tidak ada kata selain “cukup. Aku lelah.” yang menerobos bibirnya ketika berkesempatan terbuka. Seiring dengan berakhirnya kalimat itu, Hilay menetapkan Luhut sebagai orang asing dalam hidupnya.
Dan, dengan sangat, Hilay memaksa Luhut untuk tidak mencarinya. Meskipun asap itu mengetuk pintu rumahnya dan mencekik lehernya.
“Salju” hitam—yang mereka sebut sebagai ‘asap’ itu—itu kian pekat melingkupi kota. Menghadirkan kecemasan berlebihan, ketakutan tak bertemu ujung. Menjadikannya orang-orang seperti ‘mayat hidup’ yang berjalan menuruti aroma darah. Bedanya, mereka menuruti kehendak tak bertuan menyerbu swalayan-swalayan, menjarah dapur rumah, melibas habis pasar-pasar.
Lucunya, gedung-gedung penyimpanan uang yang pernah jadi primadona, malah baik-baik saja. Bersih, aman, dan nyaman.
Pikiran yang melintas di kepalaku itu mungkin agaknya sama dengan apa yang menyesaki kepala Luhut. Bedanya, sebagian porsinya sudah dirampas oleh Hilay. Dan, aku mengerti bahwa bisa jadi Hilay di sana menjadi korban keganasan para ‘mayat hidup’ yang masih hidup itu.
“Sudah hampir petang,” kataku. Meski, ya, aku yakin tidak akan ada jawaban.
Gerakan tanganku yang akan menyalakan lilin berhenti. Ketika tiba-tiba terdengar suara dari balik punggungku. Hei, suara siapa itu? Kukira seorang darwis yang kebetulan lewat depan rumah. Namun, saat aku menolehkan wajah—kemudian memutar badan, kudapati gagasan itu salah. Suara itu muncul dari patung yang sejak dahulu wajahnya menggurat suram. Luhut akhirnya bicara.
Mendadak, Luhut berkata, “Aku ….” Kalimat itu terjeda beberapa saat, tanpa ujung.
Tidak bisa dipercaya. Detik itu datang juga. Saat suara Luhut akhirnya kudengar.
“Aku … tidak … percaya … ini … terjadi ….” Kalimat tak berujung itu ternyata bersambung.
Tahukah kalian apa yang kupikirkan ketika mendengar Luhut mengucapkan enam kata itu—entah kepada siapa—? Ternyata benar. Dia telah menyepakati ini sebagai urusan krusialnya. Beban berat yang harus dia selesaikan seorang diri.
Yang tidak aku mengerti darinya adalah: Betulkah ini memang tugasnya? Jika iya, mengapa sekarang Luhut begitu terpukul dengan hasilnya? Bukankah ini memang diluar kendalinya?
“Tolong,” kataku, menyergah Luhut. “Hentikan itu.”
Suara Luhut kian menguat. “Bapak dan Ibu pasti kecewa … begitu juga Hilya ….”
“Kita berdua di sini. Kuharap kau juga mendengarkanku!”
Ketika Luhut menelan gumamannya, kukira dia akan mendengarkanku. Namun, yang dia lakukan selanjutnya adalah mendaratkan kepalan tangannya ke dinding kayu di depannya. Berulang-ulang kali, sampai cairan merah kental meluncur dari kura-kura tangannya.
Tepat sebelum Luhut mendaratkan tinjunya lagi kesekian kali, aku sudah merenggut lengannya. Sekuat tenaga menahan keinginan pemuda itu untuk melampiaskan angkaranya. Untuk sekadar meredam suasana, aku mencoba berkata. “Sekeliling kita sepi sekarang. Cobalah untuk mendengar, mengingat!”
Aku berhenti sejenak. Memastikan Luhut mencernanya dengan baik.
“Itu pula … yang diinginkan Hilay ….”
Aku melirik Luhut dengan dahi mengerut.
Kedua lutut Luhut tiba-tiba mendarat ke lantai reot rumah. Mengapungkan debu-debu. Ketika keterkejutanku belum melayang, seseorang mengetuk pintu tiga kali.
Mulanya, aku mengira bahwa itu adalah regu penyelamat yang tersisa di kota, tapi mengapa mereka tidak bersuara? Atau mungkin mereka mengenakan pakaian steril berlapis untuk menangkal dingin sehingga suara mereka teredam. Dengan memberikan isyarat lewat tangan, aku meminta Luhut untuk tinggal. Biar aku saja yang membuka pintunya.
Tepat saat aku akan menegakkan lutut dan berdiri, buru-buru Luhut menahan. Dia menatapku, menggeleng. Tatapannya menyorot tajam. Namun, sarat akan permohonan.
“Biarkan aku melakukan ini,” katanya dengan penuh tenaga. “Demi Hilay!”
Aku mengembuskan napas. Memejamkan mata. Mempersilakan. Sama sekali tidak ada keinginan untuk menahannya ketika itu, sama sekali. Biarlah. Siapa tahu ini akan membuatnya lebih baik. Tidak lagi berdiri termenung seperti patung Ken Arok di gedung olahraga sebelah sana.
Namun, seiring langkah Luhut mendekati pintu utama rumah, entah mengapa dadaku semakin sesak. Napasku patah-patah. Dan, di saat aku ingin mengucapkan satu kata saja, entah atas dasar apa kata-kata itu seperti tertahan di tenggorokanku. Kurang sedikit lagi! Sudah di ujung lidah!
Luhut lebih dekat ke pintu. Lengannya sudah menjulur. Hendak menggaet gagang pintu.
Ketika Luhut menarik gagang pintu ….
Kalimatku lolos secepat kilat, “Tu … tup pintunya!!”
“Hah? Apa yang kau bil ….” Kalimat itu tertinggal begitu saja dari bibir Luhut.
Oh, tidak.
Dia. Betul dia.
Dia yang kini sudah muncul dari balik dua tirainya. Oh, Tuhanku. Apa yang harus kami lakukan sekarang?
Aku berani bersumpah demi Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya. Saat itu aku betul-betul tidak mampu berbuat apa-apa. Berdiri saja pun sangat sulit! Sesuatu seperti membelenggu kakiku. Aku membeku di posisi terakhirku: duduk dengan setengah berdiri. Yang bisa kulakukan hanya merekam adegan di ambang pintu itu dengan mataku.
Luhut sibuk mengobrol dengan ‘pria’ itu. Padahal titah untuk menghindarinya sudah tertulis ribuan tahun lalu. Ketika cara untuk “menusuk” seseorang hanyalah dengan cara menemuinya. Mereka terlibat obrolan yang asyik. Hilang sudah Luhut si Patung. Sangat jauh berbeda dengan dirinya yang kudapati beberapa waktu sebelum ini.
Dan, kabar buruknya adalah tidak ada tanda-tanda dia akan memedulikanku.
Perlahan, suara Luhut tertelan senyap. Pelan, aku memperoleh kekuatanku lagi. Setitik demi setitik menyatu kembali. Menguatkan kedua kakiku untuk melompat berdiri. Secepat kekuatan itu pulih, aku bergegas menggapai pintu dan mendorong diriku sendiri ke sisi yang terbuka.
Tapi … Luhut tidak di sana. Yang ada hanyalah ‘asap’ itu memudar.
Ya, aku tahu. Seharusnya dia ada di sana. Mengobrol dengan seorang pria—dan aku yakin sekali itu suara pria. Jelas, satu gagasan yang menancap dan menguasai kepalaku adalah pria itu sukses memperdayanya. Atau, menculiknya. Oh, TIDAK! Jika benar begitu gagal sudah tugasku.
Tangga mungkin akan menertawakanku karena ini. Karena sekarang aku sudah jatuh. Dan ia menimpaku. Hancur total penataan misiku selama ini. Buyar sudah rencana-rencanaku. Peringatan-peringatan yang kami sampaikan—bersama juga dengan Hilay—berujung getir. Kedua tangan mengepalku langsung menghunjam lantai lapuk. Melesakkannya.
Kalau sudah begini, apa guna dan dayaku tetap berada di sini? Tidak ada lagi yang bisa kujaga. Kutemani. Karena badan Luhut sekarang sudah jauh dari jangkauanku.
Memang, pria itu—atau bisa disebut makhluk laknat itu—tidak bisa melihatku. Karena aku hanya bayangan dari imajinasi Luhut semata. Aku hanya gambaran khayal untuk mengusir kesepiannya sejak Bapak dan Ibunya mendiami liang lahat.
Mataku menatap dengan kedipan penuh kekalahan. Entah kepada siapa aku harus memalingkan pandanganku ini untuk meminta bantuan. Yang bisa kulakukan sekarang hanyalah mendongak, menancapkan pandangan ke langit, dan meminta maaf. Semoga Zat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya berkenan memaafkanku.
*
Selesai di Malang, 24 Maret 2020
Profil Penulis:
Gunung Mahendra, anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Malang, guru bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Alumnus Universitas Negeri Malang jurusan pendidikan Bahasa Jerman. Antologi perdananya berjudul Merayu Langit (2017).