Flpjatim.com,- Aku tak pernah tahu pada siapa hati ini akan berlabuh. Tidak tahu pada rupa mana yang harus kutemu. Tidak juga tahu pada sikap mana yang harus kuhadapi. Yang kutahu … aku menerimanya hadir di kehidupanku dengan segala risiko dan segala konsekuensi yang ada. Inilah keping-keping kisah merah mudaku. Rahasia-rahasia kecil dan harapan yang tak terlalu besar. Seperti pada waktu ketika sebuah pesan mendarat di layar ponselku.
Dik, dia ingin bertemu. Besok dia akan bertamu ke rumah kita.
Dua kalimat singkat dari Abang Rendra membuatku mematung beberapa detik. Aku merapal kalimat itu dalam diam. Memastikan bahwa “dia” yang dimaksud adalah benar dia yang kukenal. Kutangkupkan layar ponsel pada dada yang mendadak bergemuruh lebih cepat. Pandangku beredar pada langit-langit kamar yang kosong. Perlahan seolah langit-langit kamar berubah menjadi sebuah layar yang menunjukkan kepingan-kepingan kejadian masa lalu.
Setahun yang lalu …
Abang Rendra tiba-tiba mengetuk pintu kamar. Kukira dia akan meminjam beberapa buku seperti biasanya atau sekadar menyuruhku keluar kamar untuk makan. Aku sangat malas makan ketika sudah terlanjur memegang buku-buku. Tapi sore itu berbeda. Abang Rendra memang meminjam buku. Tak langsung pergi dari kamarku. Dia duduk di kursi sebelah tempat tidur. Memutar kursi itu ke arahku yang sedang santai dengan buku di tangan.
“Ada apa? Biasanya langsung keluar,” aku menutup buku dan menghadap ke arahnya, “Aih, serius sekali raut muka Abang, apa aku melakukan kesalahan? Ah … baiklah, aku akan segera keluar untuk makan.”
“Dih, siapa yang nyuruh kamu makan. Nanti kalau kamu masuk rumah sakit lagi seperti kemarin biar kapok,” sedikit berkurang raut tegang dari wajah Abang.
Tiga hari sebelumnya aku baru saja keluar dari rumah sakit gara-gara sering sekali menyepelekan makan. Hingga akhirnya lambungku meronta-ronta minta diperhatikan. Abang Rendra khawatir sekali meski tak pernah ia ditunjukkan langsung kepadaku. Di balik sikap tegasnya, Abang Rendra memiliki hati yang lembut. Di dunia ini, satu-satunya keluarga kandungku adalah Abang. Aku tinggal bersama Abang Rendra beserta istri dan juga putrinya.
“Maira, tahu Malik?”
Dahiku mengerut mencoba mengingat nama Malik yang baru saja ditanyakan Abang.
“Malik …? Ah, Malik gurunya si Adek?” Adek adalah panggilan untuk anaknya Abang.
Rasanya nama Malik memang sering kudengar. Hampir setiap pulang sekolah, si Adek bercerita tentang sosok guru kesayangannya itu. Aku ingat betul ketika Adek pulang sekolah dengan wajah yang semringah sambil memeluk sebuah buku. Saat kutanya, buku itu adalah buku cerita hadiah dari Pak Malik karena nilai bahasa Indonesia Adek yang terbaik di kelas. Selain sering kupinjami dan kubelikan buku untuk dibaca, guru bahasa Indonesia itu pula yang membuat Adek lebih suka membaca dan bercerita. Aku sampai hafal beberapa cerita dari Pak Malik yang sering diceritakan ulang oleh Adek kepadaku.
“Ya … Malik yang itu,” Abang Rendra mengiyakan tanpa ragu. “Usianya tiga tahun di atasmu. Dia juga masih belum menikah sepertimu. Abang hendak memperkenalkanmu dengannya. Abang sering mengobrol dengannya ketika menjemput Adek dari sekolahnya. Abang sudah menceritakan sedikit tentangmu padanya. Abang berharap kalian bisa saling mengenal lebih jauh. Tentu saja Abang akan mengawal prosesnya. Nah, Maira sekarang silakan buat proposal cinta yang sudah pernah Abang ajari. Oke, Abang keluar dulu. Terima kasih bukunya, Abang pinjam dulu. Abang tunggu ya Maira,” dia pergi begitu saja dari kamarku tanpa memberi satu kesempatan untuk bicara.
Abangku selalu bertindak tanpa basa-basi tapi penuh dengan perencanaan. Yah, begitulah Abang Rendra berusaha memperkenalkanku dengan si Guru bahasa Indonesia itu. Tak butuh waktu lama, beberapa hari kemudian Malik datang ke rumah. Kami mulai membuka sebuah obrolan ringan hingga sampai pada hal yang serius. Singkatnya, begitulah seorang Malik datang dan mengenal seorang Maira. Mengajukan diri untuk mengenalku lebih jauh. Hingga akhirnya kami saling mengenal dan merasa ada satu yang membuat klik. Tentu saja abangku perperan besar dalam hal ini.
Namun terkadang, pertemuan dan perpisahan datang terlalu cepat. Hingga kita tak memiliki waktu untuk istirahat. Ketika Malik mencoba mengetuk pintu hati dan aku bersiap untuk membukanya. Mempersilakan dia masuk. Lalu dia menawarkan kenyamanan. Merangkai jalinan pertemanan. Tetapi ternyata, perjalanan saling mengenal menuju proses yang serius itu luput dari pengawasan orang tua Malik. Dia belum menceritakan keberadaanku di hidupnya. Dia belum menceritakan keluargaku pada orang tuanya.
Hari itu … hari yang entah apakah bisa kulupa nantinya. Aku baru saja tiba di rumah. Berpapasan dengan Malik di halaman rumah. Abang Rendra berdiri di ambang pintu. Aku tersenyum menatap Malik. Dia menatapku sekejap, lalu menyebut namaku.
“Maira…,” wajahnya datar.
Aku tersenyum kepadanya, lalu menatap Abang Rendra dari kejauhan. Abang menarik napas. Terlihat berat.
“Aku harus pamit, maafkan aku Maira.”
Senyumku perlahan memudar. Malik menundukkan pandang dan berlalu. Tak ada embusan angin dari perginya Malik. Bayangannya ikut pergi secepat sang tuannya berlalu.
Aku berbalik menatap punggung Malik yang meninggalkanku. Perlahan tapi pasti. Hingga punggung itu lenyap di ujung gang perumahanku. Abang Rendra masih menungguku masuk ke rumah. Aku berjalan menuju Abang Rendra. Menatap wajahnya lekat-lekat. Seolah ia tahu, ada ribuan pertanyaan di wajahku yang harus dia jawab. Abang Rendra meletakkan tangannya di pundakku dan menuntunku masuk ke ruang tamu. Mendudukkanku perlahan. Membuatku semakin bingung.
“Maira … yang menjadi milik kita pasti akan kembali pada kita. Semua sudah ada porsinya masing-masing. Maafkan Abang bila belum bisa menjadi kakak yang baik untukmu. Hari ini Malik datang untuk mengabarkan keputusannya. Keluarganya sedang dalam masalah. Abang tidak tahu apa masalah pastinya, intinya Malik masih belum siap untuk melanjutkan proses kalian. Malik belum siap untuk menikah.”
Abang Rendra tetaplah Abang Rendra yang tak pernah berbasa-basi. Harusnya ia memberiku waktu untuk sedikit mencerna apa yang baru saja terjadi. Yah, tanpa aku harus bertanya lagi, aku dipaksa harus memahami apa yang terjadi.
Sepekan berlalu dan tentu saja aku tidak baik-baik saja. Aku tetaplah perempuan pada umumnya. Aku bukan perempuan istimewa yang memiliki hati baja. Sekuat-kuatnya aku menahan diri, hatiku hancur juga. Harusnya aku tak terlalu percaya diri. Membayangkan seorang Malik menjadi laki-laki yang bisa kuandalkan setelah Abangku. Seseorang yang akan menjagaku seperti Abang Rendra menjagaku. Harusnya aku tidak jatuh hati terlalu cepat. Malik baru singgah tiga kali saja ke rumah. Pertama dia datang untuk mengenal. Kedua dia datang membawa sekantong harapan menuju jenjang yang lebih serius. Dan ketiga, dia datang menghancurkan harapan. Malik mengucapkan maaf. Apakah ini bukan maunya? Aku pun tak tahu. Yang menjadi milikmu tak akan pergi meninggalkanmu tanpa kembali lagi … perkataan Abang rendra masih terngiang di kepalaku.
***
Kepingan kejadian setahun lalu itu perlahan memudar. Langit-langit kamarku kembali kosong.
“Malik …,” aku melafalkan namanya lirih. Bagaimana aku bisa melupakan nama itu. Bahkan sepekan yang lalu dia masih menghubungi lewat sosial mediaku. Aku ingat betul, waktu itu aku baru saja mengunggah sebuah gambar mawar merah. Aku suka memotret. Beberapa kali dia membubuhkan komentar di hasil jepretanku, sekadar memuji. Aku juga suka menulis. Beberapa kali juga, dia berkomentar pada unggahan puisi-puisiku. Dia menyukai mawar, aku menyukai puisi. Dia menyukai anak-anak, oleh sebab itu dia menjadi guru di sebuah sekolah dasar, dan kami sama-sama menyukai buku.
Besok dia akan datang ke rumah ya ….
Tersadar dari lamunan sesaat, kubuka kembali halaman buku yang tadi sempat terbaca. Mendadak setiap kalimat yang kurapal tak bisa meresap di otak, hingga akhirnya kuputuskan menenggelamkan wajah pada buku itu dan terlelap.
***
Bersambung di Jatuh Hati Tak Bisa Memilih Part 2
Profil Penulis:
Ratna W. Anggraini, Ketua FLP Cabang Surabaya