Flpjatim.com,- Alarm pada ponselku berbunyi tepat azan Subuh. Kucek pesan pada ponsel. Baris paling atas pesan dari Abang Rendra.
Dik, dia ingin bertemu. Besok dia akan bertamu ke rumah kita.
Ah ternyata pesan itu bukan mimpi. Malik akan datang hari ini. Rasanya aku tidak ingin dia muncul di hadapanku setelah hari itu, di teras rumah. Tidak bisa dimungkiri bahwa aku masih memikirkannya. Bahkan aku berharap dia masih akan kembali. Aku tidak ingin bertemu dengannya. Tapi aku sangat penasaran. Ya walaupun terkadang kami masih berkomunikasi seperlunya di media sosial. Itu pun hanya sebatas berbalas pesan di kolom komentar. Setelah sekian lama, ia akhirnya berkabar akan datang. Mungkin masalah keluarganya sudah tuntas. Apakah orang tuanya tidak memberi restu? Apakah dia akan melanjutkan proses kami? Apakah Malik sudah dijodohkan dengan orang lain? Apakah? Apakah? Banyak sekali pertanyaan-pertanyaan tidak masuk akal yang kupikirkan. Pertanyaan yang tidak pernah kuketahui jawabannya. Jatuh hati tak pernah bisa memilih. Dan kini aku harus menerima rikiso jatuh hati. Patah hati. Barangkali Malik datang karena kini ia sudah siap. Perasaanku tak menentu. Sebab beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar, bahwa Malik akan segera menikah. Tetapi aku tak berani membayangkan hal yang lebih jauh, karena jujur aku masih menyimpan secuil harapan padanya.
Sore hari aku hanya duduk santai sambil membacakan buku cerita untuk si Adek di teras rumah. Kami memiliki gazebo kecil dengan taman di pinggirnya. Gazebo kecil yang terletak di samping rumah, hampir tak terlihat dari jalan. Karena tertutup pohon mangga besar. Dan juga ada sebuah kolam ikan. Kolam ikan nampak indah berdampingan dengan taman bunga yang beberapa bunganya sedang bermekaran. Adek bermain di dekat kolam ikan sambil mendengar ceritaku.
“Pak Maliiik…,” teriakan Adek menghentikan cerita yang sedang kubacakan. Dia berlari menuju pintu gerbang. “Pak Malik, ada apa ke sini. Mau ketemu Abi ya?” dia membuka gerbang dan menyuruh Malik untuk masuk.
Aku menatap Malik dari gazebo. Malik tak menyadari keberadaanku. Pandangku beralih ke buku cerita yang aku pegang. Aku tak sanggup menatap Malik lebih lama. Aku hanya mendengar Malik berbincang dengan Adek.
“Abi ada?”
“Ada, mari saya antar ke dalam?”
Aku menatap punggung Malik yang menjauh menuju ke dalam rumah bersama si Adek. Aku tidak sanggup untuk masuk ke dalam rumah. Aku berencana menunggu di gazebo hingga Malik pulang. Adek terlihat senang ketika Malik datang. Adek tak mungkin kembali ke gazebo. Aku memutuskan untuk melanjutkan membaca buku. Tapi tetap saja, pikiranku tak bisa fokus. Kuambil kamera mirrorless yang tadi kubawa. Mengatur lensanya. Kuputuskan untuk mencari objek di sekitar halaman rumah. Bunga-bunga bermekaran nampaknya bagus dijadikan objek foto. Mataku tertuju pada mawar merah yang sedang mekar-mekarnya. Alih-alih membidik objek, mawar itu justru mengingatkanku pada Malik. Malik suka bunga mawar. Aku tersentak menyadarkan diriku sendiri.
Aku melihat pada jendela bidik kamera. Menutup mata kiriku. Memutar lensa agar fokus pada objek. Kemudian kutemukan Malik terjebak dalam lingkaran lensaku. Aku terpaku beberapa detik. Kuturunkan kamera. Mataku melihat pada Malik yang baru saja keluar dari balik pintu rumah. Malik menatapku. Lalu berjalan menujuku. Abang Rendra ikut keluar dan mengikuti langkah Malik. Jarak kami cukup dekat dan cukup jelas untuk mendengar apa yang akan dikatakan oleh Malik. Tapi mulutku terkunci rapat untuk sekadar menyapa Malik.
“Maira … Malik ingin memberikannya sendiri padamu,” Abang Rendra membuka perbincangan. Kami bertiga berdiri saling menatap.
Memberikan apa? Apa yang harus kuterima?
Sekilas pikiran aneh yang tidak kuharapkan memenuhi otak. Di balik raut muka yang mungkin terlihat datar, hatiku begitu kacau berada di hadapan Malik.
“Maira … Bagaimana kabarmu?” Malik terlihat canggung setelah mennayakan kabarku.
Aku hanya diam. Aku tak berani menatap langsung pada matanya. Aku melihat kepada Abang Rendra yang ada di sebelah Malik.
“Ra, aku datang kemari untuk …,” nada suara Malik bergetar, “… untuk mengantarkan sendiri undangan ini padamu.” Malik menyerahkan sebuah kertas berbungkus plastik bening.
Aku masih diam. Kulihat ada nama Malik dan nama lainnya yang bersanding di sebelah nama Malik di kertas itu. Aku mencoba bersikap tenang menerima sebuah undangan. Ya, undangan pernikahan Malik. Pikiranku tak bisa diam. Banyak sekali yang ingin kutanyakan padanya. Tapi ketidakberhakanku menahan semua pertanyaan itu keluar. Aku bukan siapa-siapa. Aku tidak berhak atas hidup siapa pun. Beberapa bulan lalu dia tidak melanjutkan proses denganku karena belum siap menikah. Sekarang dia datang seolah menorehkan luka.
“Malik tidak bisa lama-lama berkunjung, karena dia harus ke tempat lain,” Abang Rendra mencoba membuat suasana kembali normal. Nampaknya dia merasakan ketidaknyamananku, “Dik, si Adek menunggumu di dalam. Katanya mau diajari menulis cerita.”
“Aku pamit dulu, Ra. Semoga Maira mendapatkan kebahagiaan yang lebih baik lagi,” Malik berbalik meninggalkanku yan masih terdiam. “Saya pamit dulu Bang. Terima kasih untuk semua petuah dan nasihat dari Abang. Maafkan bila saya banyak salah pada Abang dan keluarga.”
“Tidak ada yang perlu dimaafkan,” Abang Rendra tersenyum teduh. “Semua hal sudah ditetapkan oleh Sang Mahakuasa. Semoga silaturrahmi kita tetap terjaga. Abang dan keluarga turut berbahagia untukmu.”
Aku masih bisa mendengar percakapan mereka.
“Malik …,” mulutku terbuka menyebut namanya. Malik menoleh ke arahku. “Selamat untukmu, semoga kamu selalu bahagia.”
“Terima kasih, Maira. Begitu pun denganmu.”
Aku berbalik meninggalkan Malik dan Abang Rendra. Sudah pasti aku tak bisa membendung air mata. Ternyata aku rapuh juga. Pipiku telah basah tanpa isak. Aku pernah menerima Malik dan membiarkannya hadir di hatiku, dengan segala risiko dan konsekuensi. Aku tak pernah tahu alasan Malik memilih pergi dariku. Namun setiap orang pasti punya alasan.
Profil Penulis:
Ratna W. Anggraini, Ketua FLP Cabang Surabaya