Kebenaran

130
kebenaran
ilustrasi (unsplash/dave hoefler)

Dalam ruangan dalam rumah sederhana dengan pintu di selatan dan sofa sederhana berjejer rapi, dua meja berukuran sedang berada di tengah ruangan. Terdapat satu buah almari besar menghadap pintu rumah, aku duduk menatap layar gawai yang berkedip sedari tadi. Dilayar gawai tertulis nama Adik Aisyah memanggil. Aku mengangkatnya.

“Kak!” katanya sembari terisak. Dia menangis di seberang sana.

“Eh, Ada apa, dek?” tanyaku langsung. Aku melihat ke langit-langit memandang kipas yang berputar-putar, begitu pula pikiranku kini melayang.

“Ada panggilan dari Kepala Sekolah” katanya masih menangis.

“Ada apa?” tanyaku.

“Sini aja ke sekolah,” katanya lantas menutup telponnya.

Sudah telepon tidak salam langsung nangis. Aku berdiri mengambil jaket yang ada di kamar, sembari memakainya aku segera menaiki sepeda motor yang berada di sebelah rumah. Memacunya dengan kecepatan sedang, melewati ramainya jalanan. Pikiranku berkecamuk, hampir saja aku menabrak orang tua yang sedang hendak menyeberang jalan. Aku menginjak rem dalam.

“Pelan-pelan woy!” bentak orang sekitar yang kebetulan melihatku.

Aku memohon maaf kepada kakek-kakek yang sedang menyeberang dan masyarakat sekitar. Aku lantas beristighfar kepada Tuhan dan kembali melanjutkan perjalanan menuju sekolah adikku yang sudah nampak.

Sesampainya di gerbang sekolah aku langsung mendapat sambutan dari bapak satpam dengan maksud kedatanganku. Lalu, segera kuutarakan karena mendapat panggilan dari Aisyah.

“Silahkan langsung menuju kantor sekolah, Mas!” katanya sembari menunjuk ruangan tepat di dekat gerbang. Aku memarkir sepeda motor dan melepas helm.

Aku masuk ke ruangan guru mengucapkan salam, sambil memandang sekeliling ruangan mencari adik perempuanku. Bapak kepala sekolah menjawab serta langsung menemui saya.

“Wali murid dari Aisyah Rahmawati?” tanyanya dengan ekspresi sedikit berwibawa. Kumisnya tebalnya serta kacamata jadul yang sedikit melorot.

“Iya, pak. Saya dengan Reno kakaknya Aisyah. Aisyah di mana pak?” tanyaku kemudian setelah memperkenalkan diri.

“Di ruangan kepala sekolah nak Reno, bapak mau bertanya sebelumnya” katanya tiba-tiba serius.

“Iya pak tanya aja,” kata saya.

“Apa Aisyah habis dibelikan HP baru Ayahnya?” tanyanya menyelidik.

“Iya, Pak. Itu sudah direncanakan sudah lama, memang ada apa, Pak?” kataku sembari menanyakan perihal pertanyaan yang baru saja ia utarakan.

Terlihat ia agak susah menjelaskan. Lantas ia menghembuskan napas berat. “Kita bicarakan di dalam ruangan saya saja ya, Mas,” katanya lantas mengarahkan kami ke dalam ruangannya. Terdengar suara Aisyah yang masih sesenggukan di dalam. Aku ingin memberinya surprise namun, saat aku masuk aku yang dikagetkan dengan dia yang basah kuyup. Badannya berbalut selimut. Bibirnya bergetar, mukanya pucat sekali.

Saat itu aku emosiku naik, “kenapa adik saya, Pak?” tanyaku sebelum duduk di sofa tamu.

 “Sabar, Mas! Biar saya jelaskan,” katanya bapak kepala sekolah.

Aku mendekati adikku. Dia menangis makin keras. “Aku di tuduh mencuri, Kak. Uang OSIS hilang. Tadi pagi aku baru saja memakai HP baru pemberian Ayah. Mereka langsung mengataiku maling,” katanya sesenggukan.

“Saya minta maaf atas kesalahpahaman murid-murid, Mas!” kata pak kepala sekolah, sembari menunduk.

“Kamu bawa baju ganti gak?” tanyaku pada Aisyah tanpa menjawab perkataan kepala sekolah.

Dia hanya mengangguk.

 “Ya udah ganti baju dulu, terus kita pulang yah!” kataku, namun ia memandangku seolah memberi pengertian bahwa ia tidak mau masuk kelas. “Kenapa?” dia menggeleng.

“Kalau begitu biar bapak yang ambilkan tasmu di kelas,” lantas bapak berkumis itu membiarkan kita berdua di dalam ruanganya.

“Aku di tuduh mencuri, Kak,” katanya sembari meringis. “Parahnya lagi sahabat-sahabatku malah diam aja dan malah ikutan ngatain. Lalu salah satu temanku tiba-tiba ada yang membawa air bekas ngepel dan mengguyurku,” lanjutnya.

Aku menghela napas panjang, “Sabar ya, Dek. Mungkin Tuhan sedang memberimu ujian” kataku.

“Tapi, aku dituduh-tuduhkan aku tidak tahu apa-apa.”

Aku menghapus air matanya.

“Iya, aku tahu. Yang sabar, ya!” kataku. “Lagian semua yang mereka lakukan sudah di catat dan terekam oleh Tuhan.

“apa yang kamu tabur, itulah yang akan kamu tuai, seperti peribahasa tersebut ikhlas sabar dan maafkan nanti Allah yang akan balas mereka.”

“Tapi….”

“Tak ada tapi, Syah. Jangan meragukan Tuhan,” kataku.

“Apa memang benar Tuhan merekam semua hal yang terjadi? Bagaimana mungkin?” pertanyaannya membuatku terbelalak.

“Astagfirullah, Aisyah kamu meragukan Tuhan?” tanyaku.

“Bukan begitu, Kak? Tapi, apakah ada penalaran atas itu semua?” tanyanya.

“Ada, Itu HP barumu!” kataku, ia memandangku lantas mempertanyakan hal tersebut.

“HP barumu saja mampu mem-back–up data dari akun Google dan mentransfer semua datamu ke HP yang baru. Teknologi ciptaan manusia aja bisa bagaimana dengan Tuhan kurasa itu hal yang kecil, mengingat ilmu manusia hanya sedikit saja dari ilmu Tuhan,” kataku menceramahinya tersirat kesedihan yang mendalam.

Pak kepala sekolah datang membawa tas Aisyah. Dia memberikannya pada adikku. Aku segera memberinya isyarat agar segera ganti pakaian. Ia melangkah meninggalkanku bersama bapak kepala sekolah yang wajahnya mengisyaratkan rasa kecewa pada kelakuan murid-murid lain.

“Semoga bapak bisa memberi arahan pada murid agar tak sembarangan menuduh,” kataku kepada pak kepala sekolah.

“Siap, Nak! Bapak akan memberikan arahan pada siswa-siswa tadi maaf agak lama karena bapak harus memberikan klarifikasi tentang kasus ini. Kami pihak sekolah meminta maaf atas hal ini,” katanya sembari mengajakku bersalaman.

“Baiklah, Pak! Saya izin membawa adikku pulang sebelum waktunya,” kataku setelah melihat adikku sudah berganti pakaian seragam dengan pakaian olahraga. “Kami pamit, Pak.”

Kami pun melangkah keluar dalam perjalanan bapak kepala sekolah mengantar ke luar kantor ia memberikan dukungan dan menenangkan keadaan Aisyah. Aku tersenyum dan berharap ia bisa kembali bersekolah tanpa merasa terbebani. Aku menyalakan sepeda motor dan mempersilahkan adikku naik.

Prak!

HP adikku terjatuh. HP itu lain sekali dengan pemberian dari ayah. Aku memandang matanya. Dia merasa ketakutan sembari mengambil HP tersebut. []

*Penulis: MasSae

Konten sebelumnyaLelaki Penyimpan Rindu
Konten berikutnya5 Cara Mengatasi Depresi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini