Home Artikel Sastra Pesantren: Definisi, Sejarah, dan Perannya dalam Konteks Kekinian

Sastra Pesantren: Definisi, Sejarah, dan Perannya dalam Konteks Kekinian

1125
sastra pesantren
Seminar sastra pesantren di PWNU Jatim

“Pesantren tidak pernah lepas dari sastra,” kata Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Timur KH Abdussalam Shohib dalam sambutannya saat membuka Seminar Merumuskan Ulang Sastra Pesantren dalam Konteks Kekinian di Aula KH Bisri Syamsuri Lt.1 PWNU Jawa Timur, pekan lalu.

Saya beruntung bisa menghadiri undangan seminar tersebut. Paparan dari enam narasumber dalam seminar itu menjadi bahan terbesar dalam menyusun tulisan ini. Berusaha mengupas apa itu sastra pesantren, bagaimana sejarahnya, contoh karya, hingga perannya.

Apa Itu Sastra Pesantren

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), di antara arti sastra adalah bahasa (kata-kata, gaya bahasa) yang dipakai dalam kitab-kitab (bukan bahasa sehari-hari); kesusastraan. Susastra sendiri berarti karya sastra yang isi dan bentuknya sangat serius, berupa ungkapan pengalaman jiwa manusia yang ditimba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai sarananya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi. Menurut Panuti Sudjiman, sastra adalah karya lisan dan tulisan yang memiliki keunggulan seperti keorisinalan, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya.

Pesantren dalam KBBI diartikan sebagai: (1) asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya; pondok. (2) madrasah.

Menurut Prof Dr. Djoko Saryono, istilah sastra pesantren bisa merupakan salah satu dari lima pemaknaan. Pertama, penamaan (naming). Sebagai penamaan, sastra ini bisa mengangkut segala hal tergantung siapa yang mengangkut. Dan hal ini wajar dalam politik kebahasaan dan politik kebudayaan. Misalnya saat Mohammad Yamin ‘mati-matian’ menjelaskan bahasa nasional Indonesia adalah bahasa Melayu. Mohammad Tabrani menentangnya. Ia bersikukuh, bangsa Indonesia harus menggunakan bahasa Indonesia. Ketika Mohammad Yamin mengatakan bahwa bahasa Indonesia belum ada. Tabrani menjawab bahwa apa yang dijelaskan oleh Yamin tadi adalah bahasa Indonesia.

Kedua, pelabelan (labeling). Di tengah-tengah politik identitas, memberikan label-label tertentu adalah hal yang wajar. Termasuk ketika sastra ini kemudian diberi label sastra pesantren. Meskipun nanti akan mendapat protes dari pihak lain yang mereka tidak melabeli karyanya dengan sastra abangan atau sastra priyayi.

Ketiga, jenama (branding). Di masa sekarang, sesuatu akan menjadi lebih keren jika memiliki merek atau jenama. Dan sebagai sebuah jenama, hal ini sah-sah saja. Sebagaimana wartawan memberikan istilah sastrawangi untuk perempuan yang menulis sastra. Dalam branding ini memang bisa menggunakan sifat seperti sastrawangi (sastra yang wangi). Bisa pula branding dengan tempat seperti kritik sastra Rawamangun meskipun tidak seluruh penelitinya dari Rawamangun. Atau sastra keraton meskipun tidak semua penulisnya hidup di dalam keraton. Pun dengan sastra pesantren, tidak harus penulisnya berada di dalam pesantren.

Keempat, identifikasi diri atau kelompok (identifying). Terlepas dari kelemahan metodologis dan kelemahan teoritis, ada upaya-upaya melakukan sebuah konseptualisasi membangun identitas tertentu. Di tengah derasnya politik identitas, membangun identitas budaya seperti ini juga sah-sah saja.

Kelima, formulasi. Ini yang lebih penting dari empat pemaknaan di atas. Yakni bagaimana mengkonstruksi sehingga sastra pesantren memiliki formulasinya sendiri sebagai sebuah kategori sastra. Ia leboh condong sastra ini sebagai kategori sastra alih-alih sebagai sebuah genre sastra.

Daripada makna tempat (sastra di pesantren), Prof Dr. Setya Yuwana lebih merekomendasikan pengertian makna tema. Bahwa sastra pesantren adalah sastra tentang pesantren meskipun penulisnya tidak (lagi) hidup di pesantren. Dr. Achmad Taufik juga sependapat dengan definisi ini.

Baca juga: Sesuk Tere Liye

Sejarah Sastra Pesantren

KH Abdussalam Shohib (Gus Salam) menjelaskan, pesantren tidak pernah lepas dari sastra. Sastra menjadi bagian tak terpisahkan dari ilmu di pesantren. Di antaranya dalam bentuk nazham yang bisa ditemui dalam berbagai bidang studi. Mulai tingkat dasar dalam aqidah misalnya kitab Aqidatul Awwam. Dalam fiqih, Az Zubad; dalam tajwid, Syifa’ul Jinan; dalam nahwu, Imrithi; dan sebagainya.

Menurut Dr. Achmad Taufik, sastra pesantren sebenarnya sudah ada selama berabad-abad, sejak pesantren berdiri. Maka sejarah sastra pesantren bermula sejak sejarah pesantren itu sendiri.

Sebab mayoritas sastra pesantren, menurut  KH Muhammad Al Fayyadl (Gus Fayyadl) adalah ekspresi pandangan hidup dan filosofi para kiai. Ia merupakan ekspresi rasa para kiai dan itu jumlahnya sangat banyak karena tidak semua terdokumentasikan dengan baik. Sebagiannya beruntung memiliki arsip tertulis sebagai manuskrip. Lebih sedikit lagi yang kemudian terbit atau menjadi karya cetak.

Kitab-kitab yang ditulis oleh para kiai, sebagian besarnya sarat dengan sastra. Mulai dahulu sejak yang ditulis dengan Arab pegon, yang berbentuk syiir, maupun kitab-kitab kuning saat ini yang tidak lagi menggunakan kertas berwarna kuning.

Sastra pesantren terus berkembang sesuai dengan zamannya hingga saat ini tersebar dalam beragam bentuk mulai dari novel, cerpen, puisi, hingga drama. Bentuknya pun berkembang tidak hanya cetak tetapi sudah masuk ke ranah digital.

Baca juga: Hujan Tere Liye

Fungsi dan Peran Sastra Pesantren

Sebagaimana sastra pada umumnya, sastra pesantren juga memiliki lima fungsi dasar yaitu:

1. Fungsi Rekreatif

Membaca sastra pesantren menjadi hiburan tersendiri. Misalnya saat membaca Suluh Rindu karya Habiburrohman El Shirazy. Ada bagian-bagian yang membuat kita tersenyum bahkan tertawa, sekaligus menjadi pembangun jiwa kita.

Fungsi rekreatif ini tidak hanya kita dapati dalam novel dan cerpen. Bahkan dalam puisi pun kita bisa menemukan hiburan. Apalagi jika karya itu berupa cerita dan drama lucu yang memang desain utamanya untuk menghibur.

2.Fungsi Didaktif

Sastra adalah pendidikan yang sering kali tanpa terasa membuat pembacanya mendapatkan ilmu baru dari karya yang ia nikmati. Masih tentang Suluh Rindu misalnya, pembaca bisa mengetahui bagaimana metode hafizh-hafizhah yang menerima sanad Al-Qur’an dari jalur Kiai Munawwir Krapyak. Dengan metode itu, mereka memiliki hafalan yang mendarah daging, seakan di luar kepala. Kita juga mengetahui hukum waris dalam Islam dan beragam ilmu lainnya.

3. Fungsi Estetis

Fungsi estetis atau keindahan dalam sastra pesantren tentu bukan gemulai tarian atau sejenisnya. Bahkan dalam kedalaman makna dan ketinggian bahasa, kita bisa menemukan keindahan sastra.

4. Fungsi Moralitas

Sastra yang baik selalu menghadirkan pesan moral. Apalagi jika sastra itu tentang pesantren, tentu banyak pesan moral yang bisa pembaca dapatkan. Misalnya dalam Kembara Rindu dan Suluh Rindu, banyak sekali pesan moral mulai dari kejujuran, kedisiplinan, perjuangan, hingga nilai-nilai kasih sayang.

5. Fungsi Religius

Fungsi ini sangat kental dalam  sastra pesantren. Bahkan menjadi karakteristik yang menentukan. Sebab, meskipun sebuah novel mencatut nama pesantren tetapi tidak mengusung nilai-nilai religius justru isinya mengumbar konten sensual, ia tidak masuk dalam sastra kategori ini.

Selain memiliki lima fungsi dasar di atas, sastra pesantren memiliki peran dan karakteristik sendiri. Gus Salam menyebutkan dua peran utama. Pertama, membentengi pesantren dari invasi budaya luar. Kedua, menyebarkan nilai-nilai pesantren kepada masyarakat umum.

Baca juga: Rasa Tere Liye

Karakteristik Sastra Pesantren

Gus Fayyadl mengatakan, sastra pesantren memiliki dua karakteristik utama.

1. Ta’abbudi

Karakteristik pertama adalah ta’abbudi. Artinya sastra pesantren itu selalu mengajak pembacanya untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mengajak manusia untuk menjalankan fungsi sebagai hamba-Nya. Apa pun bentuk dan kemasannya, siapa pun tokohnya.

Secara internal, penulis juga memaknai bahwa menulis dan berkarya itu sendiri merupakan ibadah. Ia menghadirkan karya sastra sebagai bagian dari dakwah bil hikmah dan mauidhah al-hasanah.

2. Tafaqquhi

Sastra pesantren memiliki karakteristik memahamkan agama. Dengan kata lain, fungsi didaktifnya kental dan itu menyuguhkan kepada pembaca tentang norma-norma agama. Setelah membaca karya tersebut, pembaca menjadi lebih paham dengan agama Islam dan terinspirasi untuk mengamalkannya.

Sehingga, karya apa pun yang menjauhkan pembacanya dari beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan agama-Nya, meskipun menggunakan setting pesantren, ia bukan sastra pesantren. Demikian pula jika sastra itu justru menjajakan pacaran dan perselingkuhan, meskipun labelnya pesantren.

Baca juga: Kutipan Novel

Contoh Karya Sastra Pesantren

Seluruh sastra karya kiai dan para pengasuh pesantren adalah contoh sastra pesantren. Termasuk kitab-kitab ilmu agama yang di dalamnya ada nazham, syi’ir, dan sejenisnya.

Prof Dr. Setya Yuwana menyebutkan contoh-contoh sastra pesantren yang lebih modern. Baik dalam bentuk puisi, sajak, cerpen, maupun novel. Misalnya karya-karya Emha Ainun Najib seperti Sajak-sajak Sepanjang Jalan dan Lautan Jilbab.

Contoh lain adalah karya-karya Abdul Hadi WM seperti Tuhan, Kita Begitu Dekat. Karya-karya Gus Mus seperti Aku Manusia, Negeri Daging, Pahlawan dan Tikus, Album Sajak-Sajak, dan lain-lain. Juga karya-karya Habiburrahman El Shirazy mulai dari Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Bumi Cinta, hingga Kembara Rindu dan Suluh Rindu.

Perbedaan Sastra Islam dan Sastra Pesantren

Sastra pesantren memiliki beberapa kesamaan dengan sastra Islam. Bahkan ia merupakan bagian dari sastra Islam. Kesamaan keduanya adalah karakteritik ta’abbudi dan tafaqquhi. Keduanya memiliki misi untuk mendakwahkan Islam melalui sastra. Sehingga sastra pesantren pasti merupakan sastra Islam.

Namun, tidak semua sastra Islam merupakan sastra pesantren. Sebab sastra pesantren ditandai dengan penulisnya adalah orang pesantren baik kiai, santri, maupun alumni pesantren. Sastra pesantren juga mengangkat tema-tema tentang pesantren baik dalam tokoh dan penokohan misalnya menceritakan kiai atau santri. Bisa pula latar tempatnya adalah pesantren yang tentunya tak bisa lepas dari tokoh-tokoh di dalam pesantren tersebut. Atau jika itu merupakan puisi atau sajak, isinya tidak lepas dari pesantren termasuk ajarannya.

Sedangkan sastra Islam, temanya lebih luas. Ia bisa mengangkat tema-tema universal seperti kejujuran, antikorupsi, dan tema-tema lain yang sejalan dengan Islam dan tidak harus menyajikan latar pesantren. Bisa pula tema-tema hijrah, menutup aurat, dan sebagainya. Selain itu, penulisnya tidak harus dari kalangan pesantren. [Muchlisin BK/flpjatim.id]

1 COMMENT

  1. Para santri harus terus berkarya untuk mengembangkan sastra pesantren agar bisa semakin luas jangkauannya. Anak-anak muda perlu mendapat bahan bacaan yang positif untuk masa depan bangsa yang lebih cerah.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here