Oleh: Noevil Agustian
Banyak motivator yang berkoar di televisi bahwa hasil yang kita capai hari ini, ternyata adalah apa yang kita tanam sepuluh tahun yang lalu. Awalnya aku tidak percaya, karena cita-citaku waktu itu adalah menjadi tentara. Menjadi seorang prajurit. Berbeda dengan diriku saat ini yang ke sana kemari memikirkan rakyat, yang belum tentu rakyat mau memikirkan keberadaanku. Ke sana kemari mengadukan nasib rakyat lewat corong TOA, sampai-sampai pernah dijebloskan ke penjara beberapa minggu, hanya gara-gara melawan aparat yang apatis terhadap seorang bocah. Namun, itulah aku, seorang pengangguran yang bangga bisa mewakili rakyat melalui orasi di corong TOA.
Aku kira semua orang tak akan acuh dengan diriku yang membela mati-matian untuk rakyat. Namun, ternyata tidak dengan seorang prajurit yang berbadan agak gempal. Ia dengan gagahnya menghampiriku, untuk memberikan satu di antara dua senjata yang ia pegang. Ia memberiku sebuah senapan dan kepercayaan untuk menggunakannya. Dengan bangga, aku menunjukkan pada dunia bahwa mimpi yang aku tanam sepuluh tahun yang lalu memanglah benar. Menjadi seorang prajurit. Dengan senapan inilah aku berkarya, menembaki semua rumah dan bahkan gedung-gedung yang melukai langit dengan cakarnya.
Yang pertama aku tuju adalah gedung DPR. Aku tembaki sekeliling gedung, sampai tak tersisa sedikit pun kaca jendela yang masih menempel dengan bingkainya. Sebelum aku menembaki seluruh bagian di gedung ini, para satpam berlarian layaknya para pengamen ketika dikejar aparat. Beberapa pejabat yang tampak tertidur pulas bangun dengan kagetnya. Langsung berlari berhamburan keluar, dibarengi beberapa ekor tikus yang malah masuk untuk menyelamatkan makanan cadangannya. Tikus memanglah tak memiliki akal, beda dengan manusia. Di saat manusia menyelamatkan dirinya, para tikus malah lebih memilih menyelamatkan makanan cadangannya terlebih dahulu. Bahkan, satu-dua ekor tikus terjerembap di dalam gedung, tak sempat menyelamatkan dirinya. Hingga akhirnya membusuk bersama makanan cadangannya di antara reruntuhan gedung yang tak kuat menahan peluru yang aku tembakkan.
Yang sebenarnya aku impikan bukanlah mengganggu ketenangan mereka para pejabat, tapi aku hanya ingin mereka keluar. Agar mereka bisa melihat dengan matanya, masih banyak rakyat yang jelata. Agar mereka bisa mendengar dengan telinganya, masih banyak rakyat yang meringis kelaparan. Agar mereka bisa mencium dengan hidungnya, ternyata masih banyak rakyat yang mayatnya membusuk di rumah mereka masing-masing karena tidak ada biaya untuk menguburkannya. Agar mereka bisa mengecap bagaimana rasa air yang mereka konsumsi setiap harinya, yang bercampur dengan limbah pabrik yang tidak bertanggung jawab. Agar mereka bisa merasakan panasnya kota ini, karena uap pabrik dan juga efek dari kendaraan bermotor yang semakin hari harganya semakin murah. Kalaupun panca indera mereka semua para pejabat sudah mati rasa, biarlah mata hati mereka yang membacanya. Kalau ternyata mata hatinya juga tak bisa membaca, mereka sebenarnya lebih layak mati bersama tikus-tikus di kantornya.
Tak hanya itu, dengan sisa peluru, aku juga menghantam rumah-rumah penduduk yang congkak. Agar mereka semua keluar dan bisa melihat tetangga-tetangganya yang masih dilanda kemiskinan. Untuk apa menjadi kaya seorang diri, jika ternyata tetangga kita masih tidur beralaskan bumi dan beratapkan langit? Tak hanya jendela mereka yang kutembaki, lumbung-lumbung penyimpanan uang mereka juga kutembaki. Uang-uang simpanan mereka pun akhirnya beterbangan. Itu semua kulakukan agar uang-uang itu dapat dipilih dan dibuat modal bagi tetangga yang lainnya. Kendaraan bermotor mereka juga kutembaki, kuhancurkan. Agar mereka semua tahu bagaimana rasanya berjalan berkilo-kilo hanya untuk mengais beberapa lembar kertas bergambar Pattimura. Selain itu juga, kendaraan bermotor mereka itulah yang membuat dunia ini semakin dekat kepada kehancuran.
Aku juga bertekad dengan beberapa peluru yang tersisa ini, akan kugunakan untuk menghabisi beberapa aparat di negeri ini. Tapi tidak dengan prajurit yang membela mati-matian demi tegaknya bumi pertiwi ini. Aku hanya akan menghabisi beberapa aparat yang sungguh jasanya sudah tidak berguna lagi. Yang membuat jalanan teratur, sudah ada traffic light dan orang-orang kampung yang membantu dengan ikhlas, terkadang juga orang memberinya uang sebagai ongkos terima kasih walaupun hanya seribu-dua ribu. Karena yang kulihat sekarang beberapa aparat sudah malas menertibkan jalan. Mereka hanya menunggu di bawah pohon untuk berteduh. Di saat ada yang melakukan kesalahan, barulah ia keluar dengan garangnya. Hingga akhirnya, terjadilah tawar-menawar harga layaknya di pasar tradisional.
Bahkan aku tak mengira, ternyata setelah menghabisi beberapa aparat, masih tersisa beberapa lagi peluru yang siap kutembakkan ke beberapa tempat. Biarkan kuteror mereka semua. Sayangnya, sebelum semua itu kulakukan prajurit, berhati mulia itu kembali lagi menemuiku. Mengambil senapan dari tanganku, dan membawa kembali peluru yang tersisa dengan senyum merekah dari wajahnya.
“Kamu tak perlu menembaki mereka semua, cukuplah yang tadi kamu tembaki saja. Karena sebenarnya, tugasmu hanya mengingatkan. Bukan untuk menghakimi.”
Hanya itu kalimat terakhir yang ia ucapkan, sebelum akhirnya meninggalkanku sendiri dengan tubuh penuh baretan luka saat sedang berduel dengan aparat.
Noevil Agustian, sesosok pria kelahiran Sumenep-Madura. Aktif menulis semenjak bergabung dengan komunitas menulis “Forum Lingkar Pena”. Saat ini sedang aktif di FLP Malang. Beberapa karyanya dimuat di beberapa media cetak maupun media online.
editor: Niswahikmah
Keren