Oleh: Rury Noviani
Perjalanan ini dilakukan bukan hanya untuk sekadar ingin semata, namun dapat disebut juga dengan perjalanan hijrah dalam menjadi pribadi yang lebih baik lagi dan lagi. Dikisahkan oleh seorang perempuan yang mulai meniti perjalanan dalam menjemput hidayah dengan jalan hijrah menuju-Nya, sangat tidak mudah jalan yang harus ditempuhnya. Namun, dengan keyakinan bahwa ia melakukan sesuatu untuk kebaikan dan membaikkan dalam jalan hijrah pun mulai dijalaninya. Bermula di tingkat ia menginjak pendidikan sekolah menengah pertama atau setaraf dengan SMP, tapi ia memilih bersekolah di lingkup madrasah saat itu. Seakan menjadi waktu titik rawan dalam usianya kala itu di tengah-tengah labilnya laku dan rasa dalam mengambil berbagai keputusan yang ada.
Kisah ini berawal ketika menginjak duduk di bangku kelas dua SMP, seolah hanya seorang diri yang menempuh jalan hijrah saat itu. Menyaksikan banyaknya teman yang lebih banyak hidup dengan aktivitas bergembira di usianya semata, belum lagi mereka yang memilih berdua dengan lawan jenis di antara mereka. Tidak mudah memang berada di antara lingkungan yang demikian, namun menjadi bijak dalam menyikapi semuanya ialah hal terbaik, mengingat kenyataan yang ada di sekitarnya demikian. Bukan menghindar, apalagi melebur mengikuti yang demikian. Dia tetapkan komitmen dirinya untuk selalu menjadi seseorang yang dapat mengajak teman-teman lainnya dalam kebaikan, walau tidak jarang hanya dengan doa yang menjadi akhir dari selemah iman.
Komitmen ini telah membawanya untuk menjadi pribadi yang selalu mengajak pada kebaikan, dari miliki beberapa teman dekat yang memang akrab dan lebih sering ke mana-mana bersama. Adanya di antara berempat, hanya ia dan salah seorang lagi yang memang aktif dalam kegiatan organisasi, karena memang berorganisasi menurutnya menjadi wadah untuk menambah pengalaman dan menambah lebih luas relasi yang bukan hanya teman dekat dari teman sekelasnya. Selain itu, ia juga belajar bahwa dengan berorganisasi dapat menjadikannya memiliki wawasan baru ditambah lagi dengan berbagai pengalaman lainnya. Dia yang tadinya lebih pendiam lagi pemalu dengan berorganisasi dapat lebih membuatnya percaya diri dan memiliki pandangan baru. Karena baginya menyerukan kebaikan adalah hal utama yang bukan sekadar mengajak, namun juga turun langsung untuk memberikan contoh mana hal yang harus dilakukan dan tidak. Tetapi bukankah jalan dakwah tidak akan selalu manis, pasti akan selalu banyak semak belukar dan berduri, belum lagi curam serta terjalnya medan yang harus ditempuh lagi dilalui. Hingga tiba masa mendekati ujian akhir tingkat pertama saat itu, entah apa yang membuatnya begitu marah akan raga dan batinnya, ia selalu mencoba untuk terus mencari tahu kegelisahan yang tengah mengganggunya. Di balik tabir yang mengisahkan kegundahan dan keprihatinan, ia masih teguh menguatkan tekad untuk berada pada jalan kebaikan dan kebenaran.
Benar nyatanya, hal buruk yang terorganisir telah menjadi makar bagi segelintir orang, namun hal itu tidak dapat dibiarkan. Kejujuran yang menjadi cikal bakalnya sebuah keteguhan diri telah pergi bahkan hilang sebab sistem yang dilakukan para oknum saat itu. Ya Rabb, apa yang telah kami lakukan ini, kami gunakan mata, telinga, mulut dan indera lainnya ini untuk melakukan kezaliman pada-Nya dan dirinya sendiri, dari sebagian besar para guru-guru ini telah mencederai anak didiknya dengan sistem yang sungguh merusak mental diri. Harusnya dunia pendidikan tidaklah pantas melakukan hal seperti itu, saat di mana ia dihimbau untuk memberikan ‘sontekan’ pada teman mereka lainnya dengan jawaban yang telah diberikan oleh para oknum saat ujian akhir nasional tingkat SMP. Singkatnya, ia telah merelakan niat kejujuran kami dalam mengerjakan soal ujian akhir itu demi sontekan yang telah diberikan dibanding dengan mengandalkan kemampuan diri kami sendiri. Sebagai diri yang sadar akan sesuatu yang haq, ia hanya dapat bergumam dalam diri, mengingat kembali akan peluh dan semua usaha yang telah mereka lakukan saat itu, seperti halnya apa arti setiap usaha mereka yang selama itu dengan adanya tambahan bimbingan belajar intensif yang diadakan sekolah hingga uraian doa-doa bersama istighotsah yang terurai dalam sendu air mata dari setiap luapan emosi hanya untuk memohon kemudahan dan agar senantiasa memperoleh hasil yang penuh kebaikan, juga keberkahan semata.
Menjadi pribadi yang tak ingin masuk dalam lubang kecurangan dan kezaliman pun ia hindari, sebab tak ingin melakukan hal yang sama, ia pun memilih teguh dengan pendiriannya. Sadar akan hal apa yang telah terjadi, sungguh bagai buah penyakit yang harus disembuhkan. Kedua orang tuanya telah mengajarkan sikap jujur lagi kasih sayang dalam diri putra-putrinya akan tetapi sekolah yang harusnya menjadi rumah kedua untuk mereka telah tercederai oleh sistem yang ada. Menjadikan acuan dalam beroperasi, lalu apalah arti tiga tahun mereka di didik selama itu. Pada akhirnya hasil ujian pun diumumkan saat itu, cukup membuat ia syok dan seakan tak percaya diri dengan hasil yang telah ia dapatkan, begitu tidak memuaskan lagi mengecewakan. Putus asa tentu, sangat kecewa, karena memang untuk anak di usianya saat itu hal yang menimpanya itu sungguh menjadi suatu hal sangat buruk yang ada, belum lagi kedua orang tua yang cukup kecewa dengan kenyataan yang ada. Satu yang menjadi keyakinan dan membuatnya bangkit saat itu, hanya dengan memohon kekuatan dan berdoa pada-Nya agar lebih menerima kenyataan yang ada. Terundung akan keadaan yang menimpanya, menangis memang bukan solusi, namun adanya hadirkan setitik basuhan pada luka yang memang pasti membekas pada akhirnya.
Di tengah keterpurukan itulah, sosok lelaki ini hadir bak cahaya yang menyinari hingga membuat ia bisa berdiri dan bangkit kembali. Sosok ayahnya yang hadir dan mendekap dengan penuh kasih sebagai tanda pedulinya dan memberi semangat putri kesayangannya itu. Dalam harapnya bisa masuk dan lolos di sekolah yang menjadi tujuan setelah salah satu sekolah favorit yang ia dambakan tak dapat lagi menjadi harapan untuk dimasuki, akhirnya memilih sekolah di sebuah madrasah lain yang ia pilih menjadi pijakan selanjutnya. Di tempat pendidikan barunya itu, ia menjadi bersemangat kembali karena bisa menjadi bagian anak didik di sekolah pilihannya yang hingga kini tak pernah menyangka sebelumnya bahwa ia dapat diterima di madrasah tersebut. Setelahnya, perjalanan baru pun di mulai dengan semua fasilitas, tempat, hingga lingkungan dan teman baru yang membuatnya harus menyesuaikan diri dengan berbagai situasi dan kondisi yang ada membersamainya kala itu.
Bertemu dengan jiwa-jiwa pembaharu di masa remaja cukup lebih membuatnya lebih berhati-hati dari sebelumnya. Masa ketika individualisme dan keegoisan masing-masing dari kami berperan tinggi mendominasi setiap sikap dari orang-orang di sekeliling kami. Masih menjadi jiwa yang lama dengan beberapa modifikasi dalam dirinya, karena memang ia seorang gadis yang supel dan tidak bisa egois terhadap orang lain. Belum lagi kejailan (suka bercanda) adalah sifat yang telah melekat pada dirinya. Membuat ia lebih mudah akrab dengan orang-orang di sekitarnya. Meski demikian, ia tetaplah seorang anak yang masih labil di usianya. Prinsip teguh dalam dirinya akan selalu menentang dan menegur siapapun mereka teman-temannya yang sekiranya melakukan hal-hal menyimpang baik secara langsung maupun hanya menyampaikan pada seorang pribadi tertentu lainnya akan selalu dilakukannya. Meski demikian, bukan berarti ia adalah pribadi yang penuh kebaikan semata jauh dari itu. Dia pun masih sangat perlu dibimbing dan dinasihati, bahkan diingatkan setiap waktu. Duduk di bangku kedua mulailah memasuki penjurusan, saat itu dengan melihat basic keilmuannya yang lebih pada keilmuan di bidang IPS namun ia lebih kekeuh untuk memilih masuk di jurusan keagamaan, belum lagi ibu wali kelas yang saat itu menyuruhnya untuk masuk di jurusan IPA. Alhasil, setelah berdialog dengan orang tua murid yang kebetulan saat itu ibu dari gadis ini lebih menyerahkan kembali pada putrinya untuk memilih melanjutkan pada jurusan yang mana, namun dengan keyakinannya ia tetap memilih jurusan keagamaan.
Bertemu dengan teman dan lingkungan di jurusan baru tentu selalu penuh kejutan, meski bertemu dengan teman-teman sebelumnya yang telah bersama di kelas sebelumnya tak lantas membuatnya sulit dalam membangun pertemanan kembali. Adanya dengan lolos di jurusan yang ia inginkan membuatnya bertemu dengan beberapa teman lama di tingkat sebelumnya yang menjadikannya lebih mudah mengenal teman yang ada dalam satu kelas kala itu. Di situlah mulai muncul episode baru, ia menemukan dan merasakan adanya kelompok-kelompok kecil dari teman-teman dalam satu kelasnya. Berawal dari mereka yang suka merias diri, suka diskusi (alias ngobrol baik dari penting hingga tidak penting sekali pun, karena memang rerata perempuan), dan terdapat pula kelompok orang-orang pendiam yang notabenenya tidak begitu aktif dalam bergaul dengan teman-temannya. Pada saat itulah ia dekat dengan anak-anak pendiam (Alhamdulillah, pada saat itu kebetulan tempatnya para bintang di kelas kami) bukan menyengaja namun ia sendirinya justru baru mengetahui dan menyadari meski ia-nya bukan termasuk dalam bintang kelas itu sendiri. Bersyukur sekali menjadi bagian teman-teman pendiam ini, setidaknya ia bisa memberikan dorongan pada teman pendiam ini untuk lebih berani tampil di depan dan percaya diri di depan kelas. Saling memberi dukungan satu sama lain ialah satu hal yang membuat mereka semakin dekat dan rekat satu sama lain.
Seulas kisah ini ditulis untuk mengenang bahwa itu semua pernah terlalui, hingga akhirnya satu tingkat berikutnya lagi pun menyapa mereka di posisi kelas tiga di Sekolah Menengah Atas (SMA). Cerita itu terulang lagi ketika ujian akhir tiba, kejujuran mereka teruji lagi masih dengan sikap yang sama dan tegas ia pun lebih ringan untuk menolaknya. Sekiranya lebih parah dari sebelumnya lagi, bahkan taktik itu dilakukan lebih awal sebelum beberapa jam ujian berlangsung. Si ‘contekan’ ini sudah lebih dulu hadir, namun yang ada kini lebih parah dari lembar jawaban yang sudah tersebar dari sebelum kami memasuki kelas dalam melaksanakan ujian akhir nasional tingkat sekolah menengah atas ini. Astaghfirullah, ujian apalagi ini dan seketika pagi sebelum ujian akhir di mulai mereka pun seperti memperoleh hantaman keras tak terelakkan.
Hari pertama itu pun ia hanya bisa tertunduk di sudut aula mushola madrasahnya, ia tumpahkah tangis dalam sholat dhuha yang ia dirikan, setelah sebelumnya bertemu dengan salah seorang temannya di tempat wudhu dan memberikan lembar jawaban pada saat itu. Namun, keteguhan dalam memperjuangkan yang haq lagi kejujuran masih lekat dalam sanubari, masih tetap sama dan tegas ia tolak pemberian temannya kala itu. Sungguh lemah dan runtuh diri menyaksikan hal yang tak semestinya terjadi. Hanya diam dan berpikir dalam tanya menyaksikan hal demikian, jika semua telah tersistem dan massif dilakukan oleh struktur pihak sekolah. Sungguh ia hanya dapat memohon ampun dan berdo’a pada-NYA agar semata dengan berbagai kenyataan yang ada berharap semua segera berakhir. Menanggung beban menjadi saksi dan bertanggung jawab akan apa yang telah terjadi begitu terasa bagai cambuk yang memenuhi ruang pikir diri saat itu.
Hal itu berlangsung hingga ujian akhir nasional berakhir dan ia hanya bisa berpasrah dengan kenyataan yang telah teralami untuk kali keduanya. Hanya berharap ada teman-teman yang masih memiliki nurani untuk tak mendzalimi perintah-Nya terlebih dirinya sendiri. Masih bertahan dengan beberapa teman yang memiliki keteguhan yang sama. Masih teringat jelas cara kami saling memberikan support satu sama lain selama ujian berlangsung hari itu. Dari yang setiap hari saat itu saling menguatkan tersebab hal yang demikian. Dengan selalu memohon dalam zikir dan saling mendoakan satu sama lain agar dijauhkan dari kecurangan dan kezaliman yang tengah terjadi. Hingga akhirnya waktu pengumuman hasil ujian akhir pun diumumkan, Alhamdulillah kelulusan dan hasil lebih baik telah diterimanya, syukur bahagia tidak terkira pun tak hentinya ia haturkan dan persembahkan semata pada-NYA telah makbulkan doa. Karena yang selalu menguatkannya ialah buah dari usaha dan doa yang terus terpanjatkan dari diri dan kedua orantuanya. Begitu berbangga dengan berapa pun hasil yang ia dapatkan dari kerja keras dirinya sendiri dibanding mereka yang mendapatkan hasil bagus lagi terbaik namun melegalkan berbagai cara untuk mendapatkannya sebagaimana dengan kecurangan dan berbuat kedzaliman. Karena dengan kejujuran menandakan bahwa kita ialah seorang muslim yang baik dan merupakan wujud pengamalan dari apa yang telah Allah firmankan dalam kitab-Nya bahkan diceritakan pula dalam hadits Nabi, para sahabat dan shalafus shalih. Lantas mengapa kita masih memilih jalan yang batil dalam meraih suatu hasil. Padahal mudah saja bagi-NYA memberikan murka lagi balasan pada waktu yang bersamaan apabila hamba-Nya melakukan kebatilan. Tidak juga berpikir bahwa keburukan selalu berganti keburukan yang sama, sebab tentu semua telah tertakar dengan setiap ketentuan-Nya pada kita.
Pada akhirnya, hingga saat ini dan selamanya ia akan terus tetap bersikap teguh dan menjujung tinggi kejujuran dalam hidupnya. Karena pohon yang semakin tumbuh tinggi akan selalu menghadapi angin yang lebih dahsyat. Ibarat seorang bayi hingga dewasa pastilah akan mengalami setiap fase dan ujian yang berbeda-beda antara kita dan orang-orang di sekitar kita. Untuknya, selalu menjunjung tinggi setiap keteguhan dan kejujuran pada diri ialah sebuah bekal yang harus tetanam pada tiap diri. Sebagaimana kita berharap memiliki seorang pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab dengan apa yang di-embannya. Karenanya, bersikap jujurlah dengan hati nurani dan lebih berbangga dengan kemampuan diri sendiri. Siapa yang lebih percaya pada dirimu selain dirimu sendiri jikalau dalam hal kejujuran saja kita memilih berlaku curang dengan meragukan kemampuan diri yang harusnya lebih teruji ini. Jangan pernah kalah dan mengalah sebelum berjuang. Sebab bisa saja kita menjadi pemenang dalam medan juang dari apa yang telah di perjuangkan. Namun, jangan pernah lengah dan lalai, selalu kenali dirimu dan kenali pula lawan sekitarmu. Sebab kita ialah seorang muslim tentu kejujuran adalah benteng dalam melindungi diri dari berbagai bentuk kecurangan dan penghianatan bahkan menjadi buah kedzaliman yang besar bukan hanya pada-NYA, tapi juga diri sendiri dan orang-orang di sekitar. Karena kita semua tak mungkin mau di tipu apalagi tertipu. Olehnya, mari selalu gemakan kejujuran baik ketika sendiri, bersama, atau bahkan tanpa orang-orang yang tak mengakui ucapan lisan pada apa yang di sampaikan. Selalu ingat dan yakin bahwa naluri dari sanubari terdalam pada jiwa akan mengetuk perhatian-Nya. Tidak serta merta terkabul dalam waktu yang bersamaan dalam tiap permintaan, ada jua yang dikabulkan pada waktu yang tertangguhkan, serta ia yang belum termustajab dalam pinta namun digantikan dengan sebuah kejutan tak terduga yang membuat kita terkagum dan penuh kesyukuran… ALLAH^_^
Perkenalkan nama saya Rury Noviani, lahir dan besar di sebuah kota kecil nan Ramah lan Ngangeni yang menjadi semboyan kota ini, tepatnya di Ngawi, Jawa Timur. Alumni UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2017. Kesibukan saat ini lebih banyak di rumah saja Berbirrul Walidain, mengajar bimbel dan mengaji untuk lima murid kesayangan saya, dan juga bergabung di beberapa komunitas muslimah via online. Selain itu, di pertengahan tahun 2021 lalu bergabung di Yatim Mandiri cabang Ngawi sebagai fasilitator untuk pendampingan bunda yatim. Boleh sekali jika ingin bersilaturahmi, bisa kunjungi saya di medsos; Facebook: Rury Noviani, Instagram: Rury Noviani, Blog: catatanperjalananrn03.blogspot.com, Email: roeryhurairah@gmail.com
Keren
Semangat bund😍🤗
Masyaa Allah, Alhamdulillah, putriku😍🤗
Alhamdulillah, Mii😍🤗