SERUPA TAPI TAK SAMA

31

Unyu, anak penyu yang baru menetas, dikagetkan dengan suara bergemuruh. Saat kepalanya muncul dari balik cangkang telur, sebuah benda besar melayang di atasnya. Wuuussshhh!

“A-apa itu?” Unyu gemetar ketakutan.

Dia menenggelamkan tubuhnya kembali ke dalam cangkang telur untuk bersembunyi. Unyu menangis sesenggukan. Dia mengira benda itu adalah hewan yang hendak memakannya.

“Kenapa kamu menangis?” sapa Bukur, ibu kura-kura, yang kebetulan melintas.

Unyu mengintip keluar. Besi bersayap itu sudah tak terlihat. Unyu pun keluar dari cangkang. Namun, tubuhnya masih gemetar.

“Aku takut. Ada hewan bersayap yang hendak memakanku.”

“Jangan takut. Itu bukan predator. Benda itu namanya pesawat.”

“Kenapa aku bisa ada di sini?” Unyu tampak kebingungan.

“Di sini tidak aman. Ayo, ikut ke rumah!” ajak Bukur yang kasihan melihat Unyu sendirian.

Unyu mengira Bukur itu ibunya karena Bukur juga mempunyai tempurung seperti dirinya. Dia pun mengekor Bukur.

Di rumah Bukur, Unyu bertemu Kuki, si anak kura-kura. Mereka pun berkenalan. Asyik, dia jadi punya teman sekarang. Kuki mengajak Bukur untuk makan malam bersama.

“Cobalah, Unyu. Ini enak sekali.” Kuki menyodorkan semangkuk penuh sayuran beraneka jenis yang diberi mayonaise.

“Apa ini?”

“Ini salad sayuran, makanan kesukaanku.”

Unyu mencoba satu suap.

“Gimana?” tanya Kuki.

“Entahlah.” Unyu tampak tidak terlalu suka memakannya.

“Mungkin kamu lebih suka ikan.” Kuki tahu kalau penyu biasanya makan ikan.

Kuki masuk ke dapur dan kembali dengan membawa sebuah piring berisi ikan goreng.

“Ibuku juga sudah memasak ini untukmu.”

“Terima kasih, Kuki.” Unyu memakannya dengan senang hati.

***

Keesokan harinya, Kuki terlihat sibuk memakai seragam.

“Kamu mau ke mana, Kuki?” tanya Unyu.

“Aku mau sekolah,” jawab Kuki sembari menenteng sebuah tas di punggungnya.

“Yah … padahal aku pengen ngajak kamu main.” Unyu tampak kecewa.

“Nanti kalau aku pulang sekolah, ya. Eh, tapi, gimana kalau kamu ikut sekolah aja. Boleh, kan, Bu?” tanya Kuki pada Bukur yang ternyata adalah seorang guru.

“Boleh.” Bukur menjawab sambil tersenyum.

“Yeee … terima kasih, Bukur.” Unyu pun lekas bersiap-siap.

Unyu, Kuki, dan Bukur berjalan kaki menuju sekolah. Hari ini, Bukur mengajari anak-anak cara melindungi diri dari gangguan. Bukur mencontohkan cara masuk ke dalam tempurung saat berada dalam bahaya. Semua anak kura-kura pun mencobanya. Unyu mengikuti mereka. Namun, dia kesulitan memasukkan kepalanya ke dalam tempurung.

“Kenapa susah sekali masuk ke dalam tempurung? Semua anak kura-kura bisa melakukannya, tapi aku tidak,” keluh Unyu.

“Itu karena kamu bukan kura-kura, Unyu,” jelas Kuki.

“Apa maksudmu? Bukannya aku ini sama sepertimu? Aku juga punya tempurung seperti kamu.”

“Tidak, kamu dan aku berbeda. Kamu penyu sedangkan aku kura-kura. Lihat, kakiku memiliki kuku-kuku yang tajam. Sementara kakimu berbentuk seperti sirip.”

“Kalau begitu Bukur bukan ibuku? Lalu, di mana ibuku?” Unyu terlihat sedih.

“Jangan khawatir, nanti aku akan bantu kamu untuk mencari ibumu.”

Sepulang sekolah, Kuki menepati janjinya. Dia mengantar Unyu menuju lautan.

“Ibumu pasti ada di laut. Tapi, aku tak tahu di mana dia berada. Bisa jadi dia tinggal jauh dari sini.”

“Kenapa bisa begitu?”

“Ibu penyu biasanya bertelur di tempat dulu dia menetas. Itulah sebabnya kamu menetas di landasan pacu bandara. Landasan itu dulunya adalah hamparan pasir dekat pantai yang bersih.”

“Kenapa ibu tidak bertelur di laut?”

“Telur penyu harus disimpan di tempat yang hangat supaya bisa menetas. Saat menetas, bayi penyu juga butuh oksigen untuk hidup.”

“Oh, begitu.”

“Nah, kita sudah sampai. Maafkan aku hanya bisa mengantarmu sampai sini. Semoga kamu lekas bertemu ibumu,” ucap Kuki saat mereka tiba di pinggir pantai. “Terima kasih, Kuki.” Unyu melambaikan tangan pada Kuki dan masuk ke dalam laut.

Konten sebelumnyaUgh, Hujan!
Konten berikutnyaMesir, Pesona dan Tragedi: Dari Sejarah, Keindahan, hingga Tragedi Mesir

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini