Oleh : Angga Suprapto
Wakil Ketua FLP Wilayah Jawa Timur
Apakah kamu salah satu orang yang tidak begitu suka membaca buku diktat perkuliahan dan semangat saat membaca novel dan cerita fiksi lainnya? Mungkin kebanyakan dari kita seperti itu ya. Membaca cerita dalam bentuk novel dan cerpen itu berbeda tingkat penggunaan otak dalam berpikir. Meski sama-sama berpikir, tampaknya membaca novel itu lebih ringan lantaran pengemasan dengan bahasa yang sederhana dan diiringi konflik cerita sehingga membacanya pun mengalir tak terasa. Mungkin ini hanya perasaanku saja karena saya yakin ada beberapa orang yang tidak bersepakat dengan pendapat ini.
Oke, tak menjadi soal jika kamu berbeda pendapat. Apapun buku bacaan yang tengah kamu tuntaskan, kamu salah satu orang yang suka membaca dan mungkin telah mengalokasikan waktu khusus dalam membaca. Lalu bagaimana jika ternyata masih banyak sekali orang yang tidak suka membaca buku? Begitulah kondisi Indonesia saat ini. Komparasi antara orang yang suka membaca buku dengan yang tidak suka membaca buku, nyatanya lebih banyak orang yang tidak suka membaca buku. Hingga beberapa waktu lalu, cukup masyhur berita tentang tragedi nol buku di Indonesia.
Banyak pihak yang kemudian berusaha semaksimal mungkin untuk mengatasi tragedi nol buku ini. Tapi kemudian kadang saya terpikir, bagaimana caranya mengawali agar orang suka membaca. Ah, sepertinya memang harus memberikan perluasan makna dari kata membaca itu sendiri. Apa maksud dari perluasan makna itu?
Perluasan makna dari membaca dimaksudkan dengan aktivitas yang tidak hanya mencermati isi dari buku, tetapi juga merujuk pada aktivitas atau kemampuan seseorang dalam mengenali situasi dan kondisi dari lingkungan serta tanda-tanda alam di sekitarnya. Bukankah kemampuan seseorang dalam mengenali sekitarnya juga sangat ditentukan dengan sejauh mana pengetahuan dan/atau pengalaman orang tersebut? Oleh karena itu, semakin banyak seseorang merekam makna atas pembacaan lingkungan sekitar ini niscaya pengalaman dan wawasannya pun akan bertambah. Dari bertambahnya pengalaman dan wawasan tersebutlah, diharapkan kita menjadi lebih dewasa dalam menyikapi permasalahan hidup.
Sebagai contoh, salah satu tanda jika satu gunung berapi akan meletus, beberapa hari sebelumnya hewan-hewan yang ada di gunung itu akan berbondong-bondong pergi menjauhi titik meletusnya gunung. Ini salah satu fenomena alam yang lazim terjadi sesaat sebelum gunung berapi meletus. Adapun manusia, membaca tanda-tanda gunung yang akan meletus itu melalui hasil peralatan canggih berikut kegempaaanyang terjadi beberapa kali sebelum gunung meletus. Informasi-informasi inilah yang berdasar pada ilmu pengetahuan yang diperoleh dari proses membaca, baik membaca secara literatur maupun membaca pengalaman dari orang per orang hingga kebudayaan setempat.
Maka dari itu, jika kamu merasa memiliki semangat membaca yang sangat rendah, maka alternatif lainnya yang bisa dilakukan adalah membaca tanda-tanda kehidupan di sekitarmu. Bukan bermaksud mengatakan boleh bermalasan untuk membaca buku cetak, melainkan memberikan alternatif lain agar fungsi dari membaca itu tetap terserap melalui aktivitas lain yang diambil dari perluasan makna membaca itu sendiri. Lalu jika masih saja enggan atau malas melakukan pembacaan atas kejadian di lingkungan sekitar, maka kukatakan pada dirimu bahwa kamu termasuk orang yang enggan menjadi lebih baik dari waktu ke waktunya. Atau lebih ekstrem lagi adalah lebih baik kamu mengenakan kain kafan dan bersiap untuk ditanam.
Betapa mati lebih baik jika kita tak bisa membaca dan memberikan kebermanfaatan pada lingkungan sekitar. Kok bisa lebih baik mati? Tentu, karena dengan jasad yang telah tiada itu tidak berpeluang untuk menambah daftar panjang keburukan yang mungkin dilakukan oleh seorang anak manusia. Oleh karena itu, pilihannya adalah hidup memberikan kebermanfaatan atau tidak melakukan kesalahan.
Namun, sebagai manusia biasa yang penuh salah dan lupa, kesalahan adalah satu keniscayaan. Oleh karenanya, upaya yang bisa kita lakukan adalah memberikan kebermanfaatan sebanyak mungkin dan meminimalkan kesalahan untuk diri dan lingkungan sekitar. Sehingga harapannya ada atau tiadanya kita, memberikan perbedaan yang nyata. Kita ada memberikan manfaat dan dirasakan oleh semua. Kita tiada, sekitar kita akan mencari karena merasa kekurangan orang yang memiliki potensi.
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menjadi seorang yang bermanfaat melalui pembacaan lingkungan sekitar? Tampaknya kita bisa melakukan beberapa hal ini:
1. Kamu harus melakukan perjalanan. Perjalanan ke mana saja yang menurutmu menyenangkan dan syukur jika itu menambah pengalaman. Tapi saya meyakini bahwa setiap perjalanan yang dilakukan seharusnya memberikan pengalaman tersendiri, baik itu pengalaman baik atau pun pengalaman buruk.
2. Amati sekitar. Proses pengamatan ini sangat bergantung pada latar belakang dan kecenderungan yang ada dalam tiap pribadi seseorang. Jika dari awal sebelum perjalanan kamu telah punya kecenderungan untuk mengamati pengemis, maka saya yakin kamu akan menemukan fenomena dan kejadian yang berkaitan dengan pengemis. Oleh karena itu, penting menentukan tujuan sebelum kamu melakukan perjalanan dan mengamati daerah sekitarnya.
3. Rekam kejadian yang menarik itu dengan gambar atau beberapa kata dalam secarik kertas maupun buku catatan. Lakukan hal ini untuk mengikat kejadian-kejadian tersebut hingga tidak hilang begitu saja saat memori di kepala telah usang termakan waktu. Jika terlupa, maka dengan mudah kamu akan mengingatnya dengan membuka buku catatan atau gambar yang telah kamu ambil.
Semakin banyak proses pembacaan lingkungan sekitar ini, niscaya akan menambah pengalaman dan memperluas cara pandang atas kehidupan. Maka kemudian, bersiaplah untuk menjadi lebih dewasa. Akhirnya, kemampuan merekam dalam proses pembacaan lingkungan sekitar ini pun sangat dipengaruhi oleh sejauh mana pengetahuan seseorang dalam memandang sesuatu sehingga semua akan berkelindan saling memengaruhi dan melengkapi antara membaca teks dengan membaca konteks.
Angga Suprapto
30.09.2018