Flpjatim.com,- Om Muhsin dengan Kedewa(n)annya | Ini merupakan isi hatiku tentang kota pujaan. Entah relevan atau tidak jika disebut sebagai catatan perjalanan. Namun, inilah adanya. Bukankah di setiap perjalanan selalu ada kisah?
Perjalanan itu diumumkan di pagi hari ketika aku tengah menyantap makan pagi yg telat. Pengumuman itu dituliskan di grup WA oleh Ketua yg kupanggil Babe (Bahasa Betawi untuk ‘Ayah’, bukan Bahasa Inggris untuk ‘sayang’) yg kira-kira berbunyi, “siapa yg ikut turba ke FLP Bangkalan hari ini?” Merasa tidak mengetahui adanya rencana itu sebelumnya, aku memprotes jadwal yg terlalu mendadak. Bukan karena tidak suka dengan hal mendadak yg membuatku protes, melainkan karena ingin seperti orang lain ketika jadwal mendadak diumumkan. Biar kekinian.
Setelah puas memprotes, aku melakukan konfirmasi perihal waktu, tempat bertemu, dan siapa saja yg ikut. Perihal waktu dan tempat, kami sudah sepakat. Namun perihal siapa yg ikut, masih merupakan misteri. Hingga pukul 12 siang lewat beberapa menit diputuskan bahwa yg ikut turba, antara lain: Babe, Om Muhsin, Mbak Zie (yg tidak mau dipanggil ‘Bu’), dan aku sendiri.
Aku segera meluncur ke terminal Arjosari untuk kemudian menuju terminal Purbaya, yg biasa disebut terminal Bungurasih atau Bungur sesuai dengan nama daerahnya. Namun ketika bus yg akan membawaku ke kota pujaan baru berangkat, Mbak Zie menelponku dan mengatakan bahwa ia tidak bisa ikut dengan alasan mual, beasiswa belum cair, hingga masuk angin dan ingin istirahat yg tentunya sudah berusaha kuhancurkan. Akhirnya, aku hanya bisa melanjutkan perjalanan sambil membayangkan perjalanan yg akan kulakukan bersama dua laki-laki dewasa itu. Sangat tidak lucu.
Dua jam perjalanan kutempuh hingga sampai di kota tercinta, Surabaya. Aku segera menuju ruang tunggu sesuai petunjuk Babe untuk menemui Om Muhsin, koordinator Danus yg keren. Bukan hanya keren karena perjalanan ini akan disponsori oleh Beliau lagi, tetapi juga karena dedikasinya pada organisasi di tengah-tengah kesibukannya sebagai anggota dewa(n). Setelah kutanyakan posisinya, Om Muhsin mengatakan bahwa ia tengah minum extra jos di depan loket. Aku mengikuti petunjuknya dan mecari-cari sosok yg kukenal itu. Ternyata, Beliau juga ikut mencariku setelah kulihat ia berjalan dari belakang menuju ke arahku. Beliau tidak ingin aku hilang di tengah-tengah keramaian terminal lalu terdampar di kota tak dikenal. Akhirnya Beliau pun rela meninggalkan nikmatnya minum extra jos di tengah panasnya suhu Surabayaku tercinta. Dewa(n) sekali, bukan? Eits! Jangan terburu-buru menyimpulkan apapun. Belum selesai.
Setelah pertemuan itu, Beliau mengajakku menunggu Babe dan mengatur rencana untuk ‘menculik’ Mbak Zie dari posisi teramannya. Beliau memintaku untuk mengirim perintah langsung dari Dewa(n) untuk ikut turba dengan iming-iming perjalanan yg tidak lewat laut. Horeeee!!! Begitu kira-kira sorak hati Mbak Zie yg katanya tengah beristirahat menemani temannya membetulkan laptop di Hitech. Sungguh istirahat yg mbois! Om Muhsin pun menyampaikan titahnya melaluiku agar Mbak Zie menunggu kami di sana. Beliau tidak ingin Mbak Zie capek-capek datang ke terminal dan membuang uangnya. Itu juga perhatian seorang Dewa(n) pada Mbak Zie.
Sambil menikmati manisnya es jeruk yg dibelikan oleh Om Muhsin, aku mempertanyakan konsistensi Babe yg memerintahkan kami untuk sampai pukul 15.15 tet karena sampai pukul 15.20 tet, sosok tinggi besarnya itu belum terlihat di mana-mana. Sekali lagi, Om Muhsin menunjukkan sifat kedewa(n)annya ketika ia me-reject panggilan telepon dari Babe. Beliau tidak ingin pulsa Babe berkurang karena meneleponnya. Beliau malah yg gantian menelepon Babe yg tentunya tidak mungkin berani di-reject olehnya. Itu kan panggilan Dewa(n)? Awas saja kalau sampai di-reject.
Panggilan itu menjadi awal keberangkatan kami menuju Bangkalan karena Babe akhirnya datang di waktu yg tidak konsisten dengan perintahnya. Tapi tidak mengapa, aku kan penikmat waktu? Kami berangkat dengan mobil silver yg disewa oleh Om Muhsin menjemput Mbak Zie yg sudah menunggu kami. Macet menggeliat di depan ketika jarak kami dengan Mbak Zie sudah amat dekat. Rupanya sedang ada karnaval anak-anak TK. Tak ayal jika kendaraan yg sudah memenuhi seluruh badan jalan hanya bisa merayap manja.
Setelah melewati ular-ularan itu, Om Muhsin melakukan panggilan ke handphone milik Mbak Zie. Kami mencari-cari perempuan yg katanya mengenakan jilbab ungu di sekitar taman pahlawan, atau makam pahlawan, atau taman tanpa pahlawan, ya? Penyakitku yg suka lupa nama sedang kambuh. Maafkan.
Sekali lagi, dengan mata dewanya, Om Muhsin berhasil mengetahui posisi Mbak Zie mendahului aku yg memiliki mata lebar ini. Perempuan yg menjadi hijab antara aku dan tiga laki-laki dalam mobil itu melengkapi jumlah anggota yg melakukan turba. Mobil silver yg kami tumpangi pun melaju di atas jembatan Suramadu menuju kota Bangkalan…