Pernah suatu hari saya nimbrung dalam sebuah acara kesenian. Dalam obrolan tersebut, ada bapak-bapak yang bilang kalau kaum muda saat ini tidak suka dengan sejarah bangsanya sendiri. Mereka lebih suka main gim dan mengikuti sesuatu yang tengah viral di media sosial.
Tidak hanya sekali mendengarkan pernyataan tersebut sudah beberapa kali saya mendengarkan hal yang sama mengenai minat sejarah yang minim. Setidaknya pendapat itu diutarakan oleh mereka yang berusia sepuh, mereka yang kini memiliki anak serta punya pengaruh besar di masyarakat.
Mendengarkan kabar tersebut, pasti kita akan merasa ngeri. Bagaimana generasi muda begitu “Ora Patio Ngreken” soal sejarah bangsanya sendiri. Hanya saja, ada beberapa hal yang tidak mereka ketahui mengenai minat sejarah di kalangan remaja dan pemuda saat ini.
Pendapat mengenai generasi muda yang merupakan sejarah itu agak bias. Kebanyakan mereka melihat dari kacamata mereka yang menganggap Sejarah adalah pelajaran semata. Menurut Perington dalam bukunya, The Idea of an Historical Education (1980), sejarah didominasi soal pengajaran hafalan. Kebanyakan karena ada pendapat fakta sangat urgen dalam peristiwa sejarah, sehingga dirasa perlu dihafal. Padahal, hal tersebut hanya alat dan bukan tujuan sebenarnya dari mempelajari sejarah.
***
Mengenal lebih dekat dengan sejarah memang tidak mudah, namun tidak berarti susah. Tinggal bagaimana cara kita mengolah dan menyampaikannya. Masalah terbesar yang ada saat ini adalah cara penyampaiannya sejarah yang cenderung menghapal, padahal sejarah sendiri merupakan kisah masa lalu yang perlu dipahami.
Mengapa dipahami? Sebab yang esensial dari sejarah adalah pemahami peristiwa yang dahulu pernah terjadi guna dipelajari. Bagian apa saja yang perlu dikerjakan, diperbaiki, maupun yang perlu dihindari. Bila telah mengetahui tujuannya, memahami sejarah akan lebih mudah. Hal-hal tersebut merupakan esensi, lalu bagaimana dengan tindakan teknisnya?
Salah satu caranya adalah “membaca”, hanya saja bukan sekadar membaca. Bila baca sekadar baca, apa yang dibaca hanya jadi gugur kewajiban semata. Setidaknya hal itu pernah disampaikan oleh Sastrawan Taufiq Ismail. Beliau menyatakan bahwa rata-rata pelajar sekolah menengah atas di Singapura dan Thailand membaca 5-7 buku selama tiga tahun, dinegara Eropa dan Amerika hingga 32 buku, tetapi di Indonesia nol buku selama tiga tahun.
Lalu bagaimana cara membaca sejarah yang asyik? Kita perlu tahu bagaimana generasi muda sekarang belajar. Sebenarnya generasi muda sekarang memiliki minat sejarah yang tergolong bagus dan tidak terlalu buruk. Hanya saja cara penyampaiannya saja yang perlu kita perbaiki.
Mereka tertarik dengan sejarah dengan pendekatan yang interaktif dan bersifat kolaboratif dengan berbagai bidang. Kalau kita sering mengamati media sosial dan dunia digital, kita akan menemui banyak sekali akun maupun komunitas yang membahas sejarah dan yang menggerakkan adalah orang-orang muda.
Di YouTube ada inspect History dan Invoice Indonesia, di portal digital ada Historia, serta untuk komunitas ada Neo Historia. Semua memiliki keunikan dan cara pendekatan yang membumi pada generasi muda saat ini. Mereka jadi tahu sejarah tetapi tidak digurui. Justru metode seperti ini yang membuat mereka nyaman dalam mempelajari sejarah. Tiap generasi punya caranya tersendiri. Tinggal tergantung kita bisa memberi referensi yang mereka butuhkan dan tidak terkesan menggurui.
Sumber:
https://amp.tirto.id/mengapa-pelajaran-sejarah-tak-disukai-bUc2
https://m.antaranews.com/amp/berita/391873/taufiq-ismail-nilai-budaya-baca-pelajar-indonesia-rendah
https://youtube.com/c/InspectHistory